URGENSI REVITALISASI
INSTITUSI
PEMADAM KEBAKARAN (IPK)
MENYONGSONG
PP PENGGANTI PP 41 TAHUN 2007
Jurnal Administrasi Kebakaran
Edisi ke -4
I. Pengantar
Bentuk nomenklatur Institusi Pemadam
Kebakaran (IPK) di tiap daerah bisa bervariasi namun tugas pokok dan fungsinya
sama yaitu memberikan pelayanan kebakaran dengan slogan ”PANTANG PULANG SEBELUM
PADAM”. Dalam kesempatan berkunjung ke Kantor IPK di Kabupaten/Kota se- Jawa
Tumur atau pada saat menerima kunjungan dari kolega institusi kebakaran
Provinsi/ Kabupaten/Kota selain Jawa Timur, sering diketahui bahwa tingkat dan bentuk
nomenklatur IPK masing-masing berbeda. Ada
yang tingkat Seksi, UPTD, Bidang, serta salah satu bagian/unit atau keseluruhan
dari Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Misalnya Kabupaten Pacitan, bentuk
nomenklatur IPKnya UPTD Damkar pada Dinas PU Cipta Karya, Tata Ruang dan
Kebersihan. Kabupaten Sumenep, bentuk nomenklatur IPKnya Seksi Pencegahan dan
Penanggulangan Kebakaran pada Dinas Kebersihan dan Pertamanan. Kabupaten
Sidoarjo, bentuk nomenklatur IPKnya Bidang Kebakaran pada BPBD. Sedangkan yang
lain ada yang Seksi/Bidang/UPTD pada Dinas Pekerjaan Umum. Bahkan ada salah
satu Kabupaten di Jawa Timur yang belum memiliki struktur, namun SDM serta
sarana dan prasarana tersedia dalam bentuk satuan tugas. Lah ne’ koyo ngene kapan majunee rek....? (Kalau seperti ini kapan
majunya kawan). Kondisi tersebut merupakan representatif
sebuah potret keberadaan IPK yang belum sepenuhnya menjadi kebutuhan. Kebutuhan
konkrit baru terasa pada saat masyarakat dan pemerintah daerah benar-benar
mengalami dan menyaksikan bencana kebakaran di depan mata sendiri. Apalagi perkembangan
akhir-akhir ini IPK tidak saja menjalankan kewenangan pencegahan dan ,penanggulangan
kebakaran akan tetapi dituntut melakukan pula tugas-tugas penyelamatan (rescue) terhadap bencana lainnya.
Sebagaimana diketahui bahwa tugas penanganan
bencana kebakaran ditopang oleh 2 (dua) komponen utama yakni response time dan bobot serangan (weight of attack). Namun perkembangan
terakhir dalam kajian di Australia, Inggris dan Jepang, menunjukan bahwa efektivitas pelayanan kebakaran tidak
semata-mata bergantung pada response time dan kualitas serangan
langsung, tetapi diperluas kepada kondisi apakah upaya pencegahan
kebakaran telah dilakukan, melakukan analisis resiko bahaya kebakaran
dan perhitungan dalam pengerahan SDM, kendaraan dan peralatan (logistik) yang setimpal dengan resiko tersebut. Penanganan masalah kebakaran juga masih menghadapi kendala baik yang
bersifat kebijakan, kinerja, peraturan perundang-undangan, mekanisme
operasional dan kelengkapan pranatanya. Dapat dikatakan bahwa aspek proteksi
belum membudaya dan belum dianggap sebagai salah satu kebutuhan dasar bagi
masyarakat dan pemerintah daerah. Agar aspek proteksi menjadi perhatian utama, maka
strategi yang jitu dalam mengedepankan kelengkapan pranata adalah revitalisasi IPK. Revitalisasi ini mendesak untuk dilakukan mengingat kondisi IPK
masih bervariasi di tiap daerah sehingga banyak keputusan-keputusan strategis
bidang pelayanan kebakaran tertahan dan tak berdaya dalam merespon tuntutan masyarakat
secara cepat, karena segala keputusan masih ditangan Kepala SKPD (bagi yang
masih Kasi, UPTD dan Kepala Bidang). Kehadiran kebijakan pemerintah dalam
bentuk rancangan Peraturan Pemerintah pengganti Peraturan Pemerintah Nomor 41
Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah membawa angin segar bagi IPK
agar dapat mempersiapkan diri untuk merevitalisasi bentuk/ type IPK yang
diinginkan berdasarkan potensi daerah
masing-masing dengan memperhatikan kebutuhan dan standar pelayanan pemadaman kebakaran yang
baku. Namun seberapa jauh urgensinya revitalisasi bagi pelayanan kebakaran? Bentuk
revitalisasi apa yang tepat bagi pemerintah daerah?
II. Konsep Revitalisasi dan Pengembangan Institusi, Bentuk Institusi, serta Manajemen Pelayanan Kebakaran
1. Revitalisasi dan Pengembangan Institusi
Pada hakekatnya revitalisasi merupakan upaya penekanan kembali
fungsi organisasi dalam melakukan pergeseran-pergeseran yang bersifat
paradigmatic dalam tatanan penyelenggaraan tugas-tugas pelayanan kebakaran
mulai dari landasan filosofis, prinsip sampai dengan modelnya yang berimplikasi
luas pada dimensi tatananan kehidupan masyarakat yang tenang dan aman dari
bencana kebakaran. Oleh karena itu pergeseran tersebut berimplikasi pada
keharusan yang tidak dapat ditawar lagi dalam mengubah dan menata kembali system
manajemen pelayanan kebakaran. Dalam perpekstif system, maka salah satu aspek
institusi harus direvitalisasi untuk menyesuaikan diri dengan perubahan
lingkungan yang terjadi.
Revitalisasi selain menjadi kebutuhan yang mendesak juga merupakan
tuntutan masyarakat yang menghendaki adanya perubahan dalam manajemen
penanganan kebakaran. Perubahan memerlukan kebijakan yang tepat dan
pertimbangan yang matang agar menghasilkan revitalisasi yang mampu memecahkan
berbagai persoalan. Diharapkan
revitalisasi kelembagaan dapat mampu melakukan tindakan responsive dan adaptif
dalam menunjang keberhasilan menerapkan kebijakan manajemen kebakaran di daerah.
Apalagi kalau melihat kondisi IPK saat ini yang masih bervariasi di tiap
daerah. Dalam hal ini Thomas
R. Dye (1978) menyatakan bahwa pendekatan kelembagaan/institusi memusatkan
perhatian pada kaitan antara struktur lembaga pemerintahan dengan isi
kebijakan. Lebih lanjut Thomas R. Dye
menyatakan bahwa mengkaji kelembagaan memperhatikan disamping struktur,
organisasi, tugas dan fungsi juga pola perilaku individu dan kelompok. Pola
perilaku individu dan kelompok bersifat tetap mempengaruhi isi kebijakan. Lebih
jauh Thomas mengemukakan bahwa struktur lembaga pemerintahan merupakan
konsekuensi kebijakan.
Agar revitalisasi ini berjalan sebagaimana yang diharapkan, maka
perlu dukungan perubahan seluruh
komponen baik internal maupun eksternal.
Secara internal perubahan ini dikarenakan adanya kebijakan atau
peraturan baru yang menuntut
perubahan struktur dan program kegiatan organisasi. Secara eksternal
perubahan yang terjadi di luar lingkungan organisasi begitu cepat untuk
diadaptasi dan perlu disikapi dengan berbagai antisipasi. Sementara itu penanganan kebakaran sendiri masih
menghadapi kendala baik yang bersifat kebijakan maupun kelengkapan pranata dan
institusinya. Milton J Esman (1971) dalam Eaton (1972),
menegaskan bahwa pengembangan kelembagaan adalah suatu perspektif tentang
perubahan sosial yang direncanakan dan dibina. Pengembangan kelembagaan
menyangkut inovasi yang menyiratkan perubahan kualitatif dalam nilai pola
tingkah laku dan hubungan perorangan mapun kelompok. Jadi dalam pengembangan
kelembagaan inovasi mempunyai peran yang sangat penting yakni sebagai generator
andal. Dari dua pandangan ini maka penulis cenderung menggunakan pandangan
modern. mengingat pandangan modern menitik beratkan perhatian dua aspek : a.
Perubahan system mikro didalam suatu lembaga formal internal b. Perubahan
system makro pada masyarakat luas yang menjadi program.
2. Bentuk Revitalisasi
Institusi Pemadam Kebakaran (IPK)
Mengacu pada guiding concepts sebelumnya maka dapat
dirumuskan bahwa revitalisasi kelembagaan/institusi adalah : perencanaan, penataaan
dan pembinaan pola perilaku yang mewujudkan adanya keinginan sebagai berikut :
a.
Inovasi
Pada kontek ini norma
dan nilai perubahan yan akan diinstitusikan, tidak ada sebelumnya. Inovasi
tersebut biasanya berupa temuan-temuan baru. Inovasi ilmu pengetahuan dan
teknologi maupun inovasi sosial yang dirancang berdasarkan pengalaman empiris memberikan
petunjuk bahwa inovasi yang seharusnya mewarnai perubahan institusi yaitu inovasi
konsep pengembangan institusi adanya perubahan bersifat fungsional, artinya
bahwa inovasi yang akan diinstitusikan setidak-tidaknya mempunyai fungsi peningkatan
pelayanan masyarakat, mempunyai nilai efektivitas yang tinggi dan menguntungkan
masyarakat. Josep W. Eaton memberikan penjelasan bahwa salah satu perencanaan
strategis yang perlu diperhatikan bagi usaha pengembangan kelembagaan adalah
merencanakan inovasi yang paling sesuai untuk memenuhi kebutuhan dan keadaan. Makin
bagus komitmen dalam pengembangan kelembagaan tentu makin sesuai dengan
kebutuhan dan keadaan masyarakat dimana pengembagan kelembagaan itu dilakukan
dan sebaliknya.(Eaton 1986).
b.
Sumber
Daya
Sumber daya pada
kontek ini adalah segala bentuk sumber daya guna mendukung program yang akan diinsitusikan.
Sumber daya dimaksud sumber daya manusi, dana dan sarana. Sumber daya tersebut
harus memenuhi kebutuhan yang ada dengan terpenuhinya sumber daya yang
dibutuhkan. Kelemahan yang sering terjadi dalam revitalisasi institusi pada bidang apapun
adalah kurang tersedianya sumber daya. Tidak tersedianya sumber daya sesuai
dengan kebutuhan baik sumber daya manusia, dana dan sarana seringkali menjadi
kendala klasik yang menyebabkan kegagalan. Oleh karena itu banyak kalangan
menyebut bahwa sumberdaya merupakan nafas suatu program revitalisasi institusi .
c.
Program
Program adalah tindakan
tetentu (kongkrit) yang akan dilaksanakan untuk mewujudkan inovasi. Jadi
program lebih kongkrit dari pada inovasi.
Menurut Eaton, program yang baik harus: mampu mengoptimumkan penggunaan
sumberdaya yang tersedia, program
harus menjabarkan inovasi, program
tidak bersifat utopis namun bisa dilaksanakan,
serta mempunyai nilai efktifitas dan efesiensi yang cukup tinggi dengan sumber
daya yang disediakan.
Satu hal menurut Eaton perlu mendapatkan perhatian
adalah: program hendaknya dirancang secara detail untuk mengimplementasikanya.
Kesalahan umum yang sering terjadi adalah program yang bagus diatas kertas. Oleh
karena itu kepiawaian seorang penyususun program memegang peranan penting, jika
seseorang memiliki kapabilitas yang tangguh maka program yang dirancang sangat applicable. Dari beberapa elemen
revitaisasi institusi, maka pada konteks untuk mewujudkan maksud dan tujuan
manajemen pelayanan kebakaran, diperlukan program-program yang mengarah
pada :
1)
Mitigasi dan pengurangan resiko
kebakaran;
2)
Pemeriksaan dan uji coba system
proteksi kebakaran pada bangunan;
3)
Penyuluhan pencegahan
kebakaran;
4)
Usaha-usaha pencegahan dan
penanggulangan bahaya kebakaran lingkungan;
5)
Pengadaan/pemeliharaan sarana
dan prasarana;
6) Pendidikan /pelatihan pertolongan dan
pencegahan kebakaran.
Semua kegiatan –kegiatan tersebut diarahkan untuk melindungi masyarakat
dari ancaman bencana kebakaran.
d.
Struktur
Institusi
Pada konteks ini
adalah struktur dan proses yang
mendukung suatu program. Terdapat beberapa persyaratan intern memiliki
kontribusi positif bagi pengembangan institusi yang efektif yaitu : adanya
pembagian peranan yang jelas melibatkan sumber daya manusia yang ahli dalam
bidangnya, adanya pola wewenang yang jelas dan sistematis, terdapat system
komunikasi yang baik dalam strutur yang pada tataran tertentu perlu didukung oleh
system informasi manajemen, masing-masing bagian dalam struktur dan mampu
melaksanakn tugas dengan baik, serta terjalinya hubungan yang baik (hubungan
sinergis & kolaboratif).
Hari mohan mathur
(1986) menegaskan bahwa aspek penting yang perlu diperhatikan implementasi
pengembangan institusi adalah kemampuan dari system administrasi untuk
mengakomodasi program-program yang ada, disamping itu juga harus dilengkapi
para pelaksan yang cukup tangguh. Jadi hal yang perlu diperhatikan berkaitan
dengan institusi adalah : kemampuan
struktur internal untuk mengakomodasi program tanpa kecuali, kemampuan yang
tangguh dari pada pelaksana untuk menjalankan tugasnya masing-masing, terdapat
pembagaian kerja dan pembagian wewnang yang jelas, terdapat komunikasi yang
baik dalam struktur tersebut sesuai dengan kebutuhan serta terjalin hubungan
kerja yang baik antara struktur internal dengan institusi diluar struktur. Lima
hal ini menjadi pilar yang harus ada agar dalam perubahan institusi memiliki
kontribusi positif bagi efektifitas revitalisasi institusi.
Dari beberapa guiding concepts
dan penjelasan mengenai perwujudan dari revitalisasi yang tergambar dari aspek inovasi, sumber
daya, program, struktur itu sendiri,
maka dapat dirumuskan bentuk
revitalisasi IPK yang tepat adalah “ RESTRUKTURISASI”
3. Manajemen Pelayanan Kebakaran
Salah satu fokus utama doktrin manajemen
publik adalah aktivitas manajemen. Dalam perkembangan lebih lanjut (Sedarmayanti, 2010: 39) menguraikan konsep menajemen dalam
administrasi publik bergeser pada Reinventing Government (Osborn dan Gaebler, 1992) dan New Public Management (Hood, 1989). Gagasan New Public Management hendak membebaskan manajer publik dari
kekangan aturan birokrasi dan kontrol administrasi sehingga dapat leluasa
menjalankan tugas. Perspektif utama New
Public Managemet adalah warga negara/masyarakat dipandang/diperlakukan
sebagai konsumen yang mempunyai akal, pikiran, kehendak dan pilihan rasional.
Dari pemahaman 2 (dua) pemikiran tersebut,
sebagai tuntutan untuk menyelenggarakan New
Public Management, maka aktivitas
untuk menyelenggarakan pelayanan kebakaran di Kabupaten/Kota telah diatur dalam
ketentuan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 20/PRT/M/2009 Tentang Pedoman Teknis Manajemen
Proteksi Kebakaran di Perkotaan yang dapat dijelaskan bahwa Manajemen Proteksi
Kebakaran (MPK) merupakan segala upaya yang menyangkut sistem organisasi,
personil, sarana dan prasarana serta tata laksana untuk mencegah, mengeliminasi
serta meminimalisasi dampak kebakaran di bangunan gedung. Pengaturan ini
dimaksudkan untuk mewujudkan bangunan gedung, lingkungan, dan kota yang aman
dari bahaya kebakaran melalui penerapan manajemen proteksi bahaya kebakaran
yang efektif dan efisien. Sedangkan tujuannya adalah mewujudkan kesiapan,
kesigapan dan keberdayaan masyarakat, pengelola gedung serta dinas terkait
dalam mencegah dan menanggulangi kebakaran.
Pedoman lain untuk
menyelenggarakan pelayanan kebakaran didasarkan pada Standar
Pelayanan Minimal (SPM) yang selanjutnya disebut Standar Pelayanan sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang
Pelayanan Publik, adalah tolak ukur yang dipergunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan pelayanan dan acuan penilaian kualitas pelayanan sebagai
kewajiban dan janji penyelenggara kepada masyarakat dalam rangka pelayanan yang
berkualitas, cepat, mudah, terjangkau dan terukur. SPM pada dasarnya merupakan implementasi dari
urusan wajib sebagaimanan diamanatkan pasal 11 ayat (4) UU. No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan ” Penyelenggaraan urusan
Pemerintahan yang bersifat wajib berpedoman pada Standar Pelayanan Minimal
dilaksanakan secara bertahap dan ditetapkan oleh pemerintah”. Selanjutnya dalam
menyelenggarakan urusan pemerintahannya, pemerintah daerah menggunakan prinsip
otonomi seluas-luasnya dan memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk
memberikan pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan pemberdayaan
masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat berdasarkan
standar pelayanan yang ditetapkan.
Dalam merumuskan rencana pencapaian dan
penerapan SPM dimasing-masing dinas, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 79
Tahun 2007 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pencapaian Standar Pelayanan
Minimal, mengharuskan setiap dinas agar
menggunakan analisis SWOT
(Strength, Weakness, Opportunities, Threats). Analisis ini berdasarkan pada
asumsi bahwa organisasi semestinya disatu sisi harus mampu memaksimalkan
kekuatan (Strength) dan peluang (Opportunities), dan sebaliknya disisi lain
mampu meminimal kelemahan (Weakness) dan ancaman (Threats). Namun demikian rencana pencapaian dan penerapan SPM tetap
menggunakan prosedur yang disepakati organisasi berdasarkan urgensi dan situasi
daerah tertentu. SPM pada dasarnya adalah prosedur yang pada akhirnya para
satria berbaju birulah tetap berhadapan
muka secara langsung dengan masyarakat.
III.
Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Penggganti Peraturan (PP) Pemerintah
Nomor 41 Tahun 2007
Pemerintah telah menyusun RPP Pengganti PP Nomor 41 tahun 2007,
tentang Organisasi Perangkat Daerah. RPP Pengganti PP Nomor 41 Tahun 2007 dimaksud
menekankan bahwa penyususunan organisasi perangkat daerah harus memperhitungkan
hasil analisis variabel umum dan variabel teknis. Sehubungan dengan itu, dalam
mempersiapkan penyempurnaan organisasi perangkat daerah, maka perlu dilakukan
kajian / evaluasi pembentukan IPK pada tahun 2014. Disisi lain, Pemerintah
melalui Surat Menteri Dalam Negeri tanggal 1 Februari 2012 Nomor : 061/294/SJ
tentang perubahan Nomenkaltur Kelembagaan Perangkat Daerah, mengamanatkan
dengan revisi Peraturan Pemerintah Nomer 41 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penataan
Organisasi Perangkat Daerah, selain mengatur tentang susunan organisasi dalam
rangka standarisasi minimal, juga mengatur jumlah dan jenis perangkat daerah
masing – masing daerah untuk melaksanakan urusan wajib dan pilihan. Peraturan Menteri
ini juga mengatur tentang besaran organisasi, perumpunan bidang pemerintahan,
termasuk perubahan besaran organisasi. pembentukan organisasi dan tata kerja
perangkat daerah dalam rangka pelaksanaan tugas otonomi daerah serta tugas
pembantuan sebagaimana diamanatkan oleh Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, serta Peraturan Pemerintahan Nomor 41 Tahun 2007
tentang Organisasi Perangkat Daerah, yang memberikan arah dalam pembentukan
organisasi dan tata kerja perangkat daerah, dengan mempertimbangkan faktor keuangan, kebutuhan daerah, cakupan
tugas yang meliputi sasaran tugas yang harus diwujudkan, jenis dan banyaknya
tugas, luas wilayah kerja serta kondisi geografis, jumlah dan kepadatan penduduk, potensi daerah yang berkaitan
dengan urusan yang akan ditangani, sarana dan prasarana penunjang tugas.
Kondisi demikian sangat mempengaruhi masing-masing daerah dalam pembentukan
organisasi dan tata kerja pendukung pemerintahan daerah dalam mewujudkan visi
dan misi daerahnya masing-masing, sehingga kebutuhan akan IPK tentu berbeda pula
antara daerah yang satu dengan daerah yang lain.
Oleh karena itu yang perlu digarisbawahi dalam pembentukan IPK adalah
criteria besaran institusi berdasarkan variabel Faktor Umum dan Faktor
Teknis ( Pasal 25 RPP Pengganti PP Nomor
41 Tahun 2007 ), yang meliputi :
1.
Variabel Faktor Umum terdiri dari :
a.
Jumlah
Penduduk;
b.
Luas
Wilayah;
c.
Jumlah
Anggaran Pendapatan dan Pendapatan Belanja Daerah (APBD);
d.
Jumlah
Daerah Bawahan.
2.
Variabel Faktor Tekni
a.
Ketersediaan
SDM;
b.
Sarana
dan Prasaran Penunjang;
c.
Beban
Tugas;
d.
Potensi
dan Tingkat Pertumbuhan ekonomi;
e.
Karakteristik
Daerah.
Dari criteria
tersebut maka dapat ditentukan tipe dan tingkatan eselon IPK sebagai berikut :
1.
Tipe
Dinas ditentukan berdasarkan faktor umum dan faktor Teknis;
2.
Dinas
Tipe A dibentuk apabila total skor variabel lebih dari 800;
3.
Dinas
Tipe B dibentuk apabila total skor variabel 601 sampai dengan 800;
4.
Dinas
Tipe C dibentuk apabila total skor 400 sampai dengan 600;
5.
Apabila
skor kurang dari 400, maka belum dapat
dibentuk dinas / badan;
6.
Kriteria
besaran struktur dinas didasarkan
pada perhitungan skor variabel faktor umum ( dengan bobot 40 % ) dan variabel
faktor teknis ( dengan bobot 60 % ).
7.
Kepala
Dinas tipe A, merupakan Jabatan Sturktural Eselon IIb;
8.
Kepala
Dinas tipe B, merupakan Jabatan Sturktural Eselon IIIa;
9.
Kepala
Dinas tipe C, merupakan Jabatan Struktural Eselon IIIb.
Dari beberapa penjelasan tersebut
penulis tidak terlalu masuk dalam menilai criteria, karena bola sepenuhnya ada di Bagian
Organisasi Sekretariat pada
masing-masing daerah. Hanya dalam konteks ini penulis memberikan wacana bentuk
struktur IPK yang ideal berdasarkan pergeseran paradigma baru tugas-tugas
pelayanan kebakaran, yang bersumber dari instrument secara empiris dan
teoritis.
IV. Urgensi Revitalisasi Institusi Pemadam Kebakaran (IPK)
IV. Urgensi Revitalisasi Institusi Pemadam Kebakaran (IPK)
Fakta yang sering terdengar dari sebagian besar image masyarakat menilai bahwa kalau tidak ada kebakaran anggota
Dinas Kebakaran hanya duduk-duduk saja dan kurang memanfaatkan waktu untuk
melakukan upaya-upaya pencegahan kebakaran. Melihat sebagian kenyataan tersebut, penulis
memandang perlu dan mendesak untuk menekankan kembali urgensi revitalisasi
kelembagaan dengan melakukan pergeseran, paradigma lama sebagai pemadaman kebakaran menuju
paradigma baru sebagai ”Fire Protector Agen” , dengan menitikberatkan pada kebijakan pencegahan kebakaran menjadi prioritas utama
dari pada pemadaman kebakaran. Bagaimanapun kalau upaya pencegahan dapat
berjalan efektif, otomatis perhatian terhadap respon time pelayanan kebakaran
dan intensitas kebakaran dapat menurun. Memang upaya ini tidak semudah
membalikkan kedua telapak tangan, tapi paling tidak mulai saat ini IPK harus
lebih baik dan mampu melayani warga negara (citizen)
dengan melakukan perubahan-perubahan melalui revitalisasi IPK.
Agar revitalisasi ini berjalan sebagaimana yang diharapkan, maka
perlu dukungan perubahan seluruh
komponen baik internal maupun eksternal.
Beberapa kebijakan dan
pranata kelembagaannya tersebut dalam tataran implementasi masih dirasakan
belum efektif. Oleh karena itu berdasarkan Rancangan PP pengganti PP No. 41
Tahun 2007 tentang Organisasi perangkat Daerah, maka Pemerintah daerah harus
mempersiapkan model dari institusi itu sendiri berdasarkan pada type
masing-masing dengan tetap mengacuh pada ketentuan teknis yang dikeluarkan oleh
Peraturan Menteri Negara Pekerjaan Umum nomor 26 Tahun 2008 tentang Persyaratan
Teknis Sistem Proteksi Kebakaran pada
Bangunan dan Lingkungan serta Peraturan
Menteri Negara Pekerjaan Umum nomor 20
Tahun 2009 tentang Pedoman Manajemen Sistem Proteksi Kebakaran di Perkotaan. Revitalisasi IPK pada
kenyataanya berhadapan dengan masalah-masalah reformulasi dan implementasi
kebijakan, sehingga tidak menutup kemungkinan perumusan kebijakan yang
berkaitan dengan revitalisasi IPK akan menemui kendala bagi peningkatan
organisasi maupun kinerja aparatur kebakaran (fire man) apabila tidak didasarkan pada kepentingan masyarakat.
Beberapa kendala yang muncul dalam revitalisasi IPK antara lain :
1.
Masih
kuatnya cara pandang sebagai aparatur
pemadam kebakaran yang hanya mengutamakan tugas
memadamkan api;
2.
Struktur
internal belum mengutamakan aspek
pencegahan kebakaran sebagai kebutuhan mendasar;
3.
Program-program
yang kurang berpihak pada implementasi kebijakan pencegahan kebakaran;
4.
Dukungan
sumber daya yang belum optimal;
5.
Lemahnya
interaksi dengan instansi lain yang mendukung kebijakan pencegahan kebakaran.
Selain itu dari sudut
pandang sesama Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), suka atau tidak suka citra
aparatur pemadam kebakaran terkesan sebagai pegawai buangan yang terlibat kasus
pelanggaran dan kasus tertentu lainnya.
Beberapa
fenomena, fakta empiris dan permasalahan yang terjadi, kiranya masalah
revitalisasi IPK menarik untuk dikaji
secara mendalam. Oleh karena itu dalam kerangka konseptual inilah diperlukan
model revitalisasi IPK yang kemudian akan disetting
dengan membangun model perubahan struktur IPK yang efektif dalam menjawab
tantangan dan perubahan.
V. Struktur Institusi Pemadam Kebakaran (IPK) yang Ideal di Daerah
Sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya bahwa tugas penanganan bencana kebakaran ditopang
oleh 2 (dua) komponen utama yakni response
time dan bobot serangan (weight of
attack). Namun perkembangan terakhir dalam kajian di Australia, Inggris dan Jepang,
menunjukan bahwa efektivitas pelayanan kebakaran tidak
semata-mata bergantung pada response time dan kualitas serangan
langsung, tetapi diperluas kepada kondisi apakah upaya pencegahan
kebakaran telah dilakukan, melakukan analisis resiko bahaya kebakaran
dan perhitungan dalam pengerahan SDM, kendaraan dan peralatan (logistik) yang setimpal dengan resiko tersebut. Dari penjelasan ini maka
secara filosofis dalam perspektif kebencanaan penanganan kebakaran tetap
memperhatian response time dan bobot serangan (weight of attack) sebagai langkah penanganan darurat
kebakaran, namun upaya pencegahan melalui
analisis resiko bahaya kebakaran dan perhitungan dalam pengerahan sumber daya sebagai
TITIK BERAT lebih diutamakan dalam pelayanan kebakaran. Sebab bagaimanapun
kalau upaya pencegahan kebakaran berhasil maka secara otomatis response time dan kualitas serangan langsung dengan sendirinya tidak diperlukan.
Oleh karena itu bentuk struktur IPK
yang ideal di Daerah seharusnya mulai menggunakan pendekatan kebencanaan dengan
mengutamakan upaya pencegahan dari pada pemadaman kebakaran. Namun dalam
kesempatan ini penulis tidak terlalu masuk untuk menilai criteria dan skor
sebagaimana yang telah diatur dalam rancangan PP pengganti PP 41 Tahun 2007, karena
bola sepenuhnya ada di Bagian Organisasi
Sekretariat pada masing-masing
daerah. Penulis mencoba menawarkan beberapa alternatif berdasarkan asumsi bila
pemerintah Kabupaten/kota telah memutuskan bentuk struktur IPK pada type A, B,
atau C. Khusus bagi IPK DKI Jakarta, alternative bentuk struktur tersebut tidak berlaku karena IPK di Jakarta
masuk dalam lingkup pemerintah daerah khusus ibu kota dengn nomenklatur Dinas
Kebakaran dan Penanggulangan Bencana. Semoga buah pemikiran penulis dapat memberikan
sumbangsih dan membantu teman-teman yang setia pada satria baju biru di seluruh
Indonesia. Adapun bentuk struktur IPK yang ideal di Daerah adalah sebagai
berikut :
5.1 Struktur
Organisasi IPK dengan Type A Pola Maksimal
Baik type A, B dan C nomenklatur yang
ideal adalah Dinas Kebakaran mempunyai kedudukan sebagai unsur pelaksana pemerintah daerah yang dipimpin oleh seorang Kepala Dinas yang
berkedudukan dibawah dan bertanggung jawab kepada walikota/Bupati melalui
Sekretaris Daerah. Dinas
Kebakaran mempunyai tugas melaksanakan urusan pemerintahan
daerah berdasarkan azas otonomi
dan tugas pembantuan di bidang
kebakaran yang mempunyai
fungsi:
1.
Perumusan
kebijakan teknis di bidang kebakaran;
2.
Penyelenggaraan
urusan pemerintahan dan pelayanan umum;
3.
Pembinaan pelaksanaan
tugas;
4.
Pengelolaan
ketatausahaan Dinas dan
5.
Pelaksanaan
tugas lain yang diberikan oleh Kepala Daerah sesuai
dengan tugas dan fungsinya.
Adapun struktur /susunan organisasi Dinas Kebakaran terdiri dari ;
1.
Unsur
pimpinan: Kepala Dinas;
2.
Unsur
staf: Sekretariat,
terdiri dari:
a.
Sub
Bagian Perencanaan;
b.
Sub
Bagian Umum dan kepegawaian;
c.
Sub
Bagian Keuangan.
Sekretariat yang mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas Dinas Kebakaran dibidang
kesekretariatan dengan rincian sebagai berikut :
·
Pelaksanaan
koordinasi perencanaan program, anggaran dan laporan
dinas;
·
Pelaksanaan pembinaan
organisasi dan ketatalaksanaan;
·
Pengelolaan
administrasi kepegawaian;
·
Pengelolaan
surat menyurat, dokumentasi, rumah tangga dinas, kearsipan;
·
Pemeliharaan
rutin gedung dan perlengkapan/peralatan kantor;
·
Pelaksanaan
hubungan masyarakat dan keprotokolan;
·
Pemrosesan
administrasi perizinan/rekomendasi;
·
Pelaksanaan
pemungutan retribusi (bila bidang retribusi ditiadakan atau target dibawah satu milyar).
3. Unsur
Pelaksana :
Bidang, terdiri dari:
a.
Bidang
Pencegahan dan Pengendalian,
terdiri dari:
1)
Seksi Pengurangan Resiko;
2)
Seksi Pemeriksaan dan Uji Coba;
3)
Seksi Penyuluhan.
Bidang Pencegahan
dan Pengendalian mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas Dinas Kebakaran dengan rincian sebagai berikut :
·
Pelaksanaan Mapping daerah rawan ancaman kebakaran;
·
Menganalisis
resiko, ancaman, kerentanan dan kemampuan masyarakat;
·
Pemeriksaan system proteksi pada bangunan kantor
pemerintah dan swasta;
·
Uji
coba system proteksi pada bangunan kantor pemerintah dan swasta;
·
Penyuluhan
dan sosialisasi manajemen kebakaran kepada masyarakat;
·
Penentuan
pola dan cara pengendalian kebakaran.
b. Bidang
Keselamatan dan Bencana lain
1) Seksi Penyelamatan;
2) Seksi Investigasi dan Mitigasi;
3)
Seksi
Bencana Lain.
Bidang Keselamatan dan Bencana
lain mempunyai
tugas melaksanakan sebagian tugas Dinas Kebakaran dengan rincian sebagai berikut :
·
Melaksanakan evakuasi pada saat
kebakaran;
·
Memberikan pertolongan kepada korban
kebakaran;
·
Melakukan penyidikan sebab-sebab
kebakaran;
·
Pendataan daerah rawan ancaman kebakaran;
·
Melakukan olah TKP bersama instansi
terkait;
·
Melakukan penanganan bancana lain
bersama instansi terkait.
c. Bidang
Pelatihan dan Pemberdayaan
1) Seksi Pelatihan dan pengembangan;
2) Seksi Pemberdayaan Satlakar;
3) Seksi Pemberdayan Badan Usaha.
Bidang Pelatihan
dan Pemberdayaan mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas Dinas Kebakaran dengan rincian sebagai berikut :
·
Melaksanakan
pelatihan dan pengembangan bagi anggota/staf ;
·
Melaksanakan
simulasi pemantapan tugas anggota;
·
Mengadakan
diskusi forum komunikasi masyarakat;
·
Melakukan
pemberdayaan Satlakar lingkungan RW, Rusun dan Pasar Tradisional;
·
Melakukan
pemberdayaan Tim Penanggulangan Kebakaran milik badan usaha.
d.
Bidang Sarana dan Prasarana
1) Seksi Pengadaan;
2) Seksi Pemeliharaan;
3) Seksi Penyimpanan dan Distribusi.
Bidang Sarana
dan Prasarana mempunyai
tugas melaksanakan sebagian tugas Dinas Kebakaran dengan rincian sebagai berikut :
·
Merencanakan dan melaksanakan pengadaan sarana dan
prasarana kebakaran;
·
Melaksanakan Pemeliharaan dan perawatan sarana dan
prasarana kebakaran;
·
Melaksanakan penyimpanan dan distribusi sarana dan
prasarana kebakaran.
e.
Bidang Retribusi
1) Seksi Pendataan dan penetapan;
2) Seksi Penagihan dan Keberatan;
3) Seksi Evaluasi dan Penerimaan lain-lain.
Bidang Retribusi mempunyai tugas
melaksanakan sebagian tugas Dinas Kebakaran dengan rincian sebagai berikut :
·
Menetapkan
target retribusi pemeriksaan alat pemadam kebakaran;
·
Pendataan
dan penetapan retribusi pemeriksaan alat pemadam kebakaran;
·
Penagihan
dan teguran pungutan retribusi pemeriksaan alat pemadam kebakaran;
·
Mengelola
pengajuan keberatan wajib retribusi;
·
Melakukan
evaluasi target dan realisasi pungutan retribusi pemeriksaan alat pemadam
kebakaran;
·
Mengelola
penerimaan lain-lain yang sah yang bersumber dari pungutan retribusi pemakaian
kekayaan daerah.
4.
Unit
Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) adalah unsur pelaksana yang membantu kepala dinas
di bidang penanggulangan kebakaran khususnya operasional pemadaman kebakaran dan
pertolongan akibat bencana lain sekaligus sebagai pengendali operasional
kebakaran di wilayah kerjanya (bagi yang lebih dari satu UPTD). UPTD mempunyai
fungsi :
o
Pelaksanaan
pemadaman dan koordinasi pengendalian kegiatan operasional;
o
Pelaksanaan
pengawasan terhadap sarana dan prasarana kebakaran;
o
Pelaksanaan
ketatausahaan UPTD;
o Pelaksanaan evaluasi dan pelaporan pelaksanaan tugas.
5.2 Struktur Organisasi IPK dengan Type B Pola Maksimal
Dinas Kebakaran mempunyai kedudukan
sebagai unsur pelaksana pemerintah daerah yang dipimpin
oleh seorang Kepala Dinas yang berkedudukan dibawah dan bertanggung jawab
kepada walikota/Bupati melalui Sekretaris Daerah. Dinas Kebakaran mempunyai tugas melaksanakan urusan pemerintahan daerah
berdasarkan azas otonomi
dan tugas pembantuan di bidang
kebakaran yang mempunyai
fungsi:
1.
Perumusan
kebijakan teknis di bidang kebakaran;
2.
Penyelenggaraan
urusan pemerintahan dan pelayanan umum;
3.
Pengelolaan
ketatausahaan Dinas dan
4.
Pelaksanaan
tugas lain yang diberikan oleh Kepala Daerah sesuai
dengan tugas dan fungsinya.
Adapun struktur /susunan organisasi Dinas Kebakaran terdiri dari ;
1.
Unsur pimpinan: Kepala Dinas;
2.
Unsur staf: Sekretariat,
terdiri dari:
a.
Sub
Bagian Umum dan kepegawaian;
b.
Sub
Bagian Keuangan.
Sekretariat yang mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas Dinas Kebakaran dibidang
kesekretariatan dengan rincian sebagai berikut :
·
Pelaksanaan koordinasi
perencanaan program, anggaran dan laporan
dinas;
·
Pelaksanaan
pembinaan organisasi dan ketatalaksanaan;
·
Pengelolaan
administrasi kepegawaian;
·
Pengelolaan
surat menyurat, dokumentasi, rumah tangga dinas, kearsipan;
·
Pemeliharaan
rutin gedung dan perlengkapan/peralatan kantor;
·
Pelaksanaan
hubungan masyarakat dan keprotokolan;
·
Pemrosesan
administrasi perizinan/rekomendasi;
·
Pelaksanaan
pemungutan retribusi (bila ada).
3. Unsur
Pelaksana :
Bidang, terdiri dari:
a.
Bidang
Pencegahan dan Pengendalian, terdiri dari:
1)
Seksi Mitigasi dan Pengurangan Resiko;
2) Seksi
Pemeriksaan dan Uji Coba;
Bidang Pencegahan
dan Pengendalian mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas Dinas Kebakaran dengan rincian sebagai berikut :
·
Pendataan daerah rawan ancaman kebakaran;
·
Pelaksanaan Mapping daerah rawan ancaman kebakaran;
·
Menganalisis
resiko, ancaman, kerentanan dan kemampuan masyarakat;
·
Pemeriksaan system proteksi pada bangunan kantor
pemerintah dan swasta;
·
Uji
coba system proteksi pada bangunan kantor pemerintah dan swasta.
b.
Bidang Pelatihan
1) Seksi Pelatihan;
2) Seksi Penyuluhan
Bidang Pelatihan mempunyai tugas
melaksanakan sebagian tugas Dinas Kebakaran dengan rincian sebagai berikut :
·
Melaksanakan
pelatihan dan pengembangan bagi anggota/staf ;
·
Melaksanakan
simulasi pembekalan dan pemantapan tugas anggota;
·
Melakukan
pemberdayaan, penyuluhan dan sosialisasi kepada Satlakar lingkungan RW, Rusun
dan Pasar Tradisional.
c. Bidang
Sarana dan Prasarana
1) Seksi Pengadaan;
2) Seksi Pemeliharaan;
Bidang Sarana
dan Prasarana mempunyai
tugas melaksanakan sebagian tugas Dinas Kebakaran dengan rincian sebagai berikut :
·
Merencanakan dan melaksanakan pengadaan sarana dan
prasarana kebakaran;
·
Melaksanakan Pemeliharaan dan perawatan sarana dan
prasarana kebakaran;
·
Melaksanakan penyimpanan dan distribusi sarana dan
prasarana kebakaran.
4.
Unit
Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) adalah unsur pelaksana yang membantu kepala dinas
di bidang penanggulangan kebakaran khususnya operasional pemadaman kebakaran
dan pertolongan akibat bencana lain sekaligus sebagai pengendali operasional kebakaran. UPTD mempunyai fungsi :
o
Pelaksanaan
pemadaman dan koordinasi pengendalian kegiatan operasional;
o
Pelaksanaan
pengawasan terhadap sarana dan prasarana kebakaran;
o
Pelaksanaan
ketatausahaan UPTD;
o
Pelaksanaan
evaluasi dan pelaporan pelaksanaan tugas.
Dinas Kebakaran mempunyai kedudukan
sebagai unsur pelaksana pemerintah daerah yang dipimpin
oleh seorang Kepala Dinas yang berkedudukan dibawah dan bertanggung jawab
kepada walikota/Bupati melalui Sekretaris Daerah. Dinas Kebakaran mempunyai tugas melaksanakan urusan pemerintahan daerah
berdasarkan azas otonomi
dan tugas pembantuan di bidang
kebakaran yang mempunyai
fungsi:
1.
Perumusan
kebijakan teknis di bidang kebakaran;
2.
Penyelenggaraan
urusan pemerintahan dan pelayanan umum;
3.
Pengelolaan
ketatausahaan Dinas dan
4.
Pelaksanaan
tugas lain yang diberikan oleh Kepala Daerah sesuai
dengan tugas dan fungsinya.
Adapun struktur /susunan organisasi Dinas Kebakaran terdiri dari ;
1.
Unsur pimpinan: Kepala Dinas;
2. Unsur
staf: Kepala Sub Bagian Tata usaha, yang mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas Dinas Kebakaran dengan rincian sebagai berikut :
·
Pelaksanaan
koordinasi perencanaan program, anggaran dan laporan
dinas;
·
Pelaksanaan
pembinaan organisasi dan ketatalaksanaan;
·
Pengelolaan
administrasi kepegawaian;
·
Pengelolaan
surat menyurat, dokumentasi, rumah tangga dinas, kearsipan;
·
Pemeliharaan
rutin gedung dan perlengkapan/peralatan kantor;
·
Pemrosesan
administrasi perizinan/rekomendasi;
·
Pelaksanaan
pemungutan retribusi.
3.
Unsur Pelaksana : Kepala Seksi, terdiri dari:
a.
Seksi
Pencegahan dan Pengendalian,
Pelaksana yang
mempunyai
tugas melaksanakan sebagian tugas Dinas Kebakaran dengan rincian sebagai berikut :
·
Pendataan daerah rawan ancaman kebakaran;
·
Pelaksanaan Mapping daerah rawan ancaman kebakaran;
·
Menganalisis
resiko, ancaman, kerentanan dan kemampuan masyarakat;
·
Pemeriksaan system proteksi pada bangunan kantor
pemerintah dan swasta;
·
Uji
coba system proteksi pada bangunan kantor pemerintah dan swasta.
b.
Seksi pemadaman
Pelaksana yang membantu kepala dinas
di bidang penanggulangan kebakaran khususnya operasional pemadaman kebakaran
dan pertolongan akibat bencana lain sekaligus sebagai pengendali operasional
kebakaran. UPTD mempunyai fungsi :
·
Pelaksanaan
pemadaman dan koordinasi pengendalian kegiatan operasional;
·
Pelaksanaan
pengawasan terhadap sarana dan prasarana kebakaran;
·
Pelaksanaan
evaluasi dan pelaporan pelaksanaan tugas.
c.
Seksi Pelatihan dan Penyuluhan
Pelaksana yang
mempunyai tugas
melaksanakan sebagian tugas Dinas Kebakaran dengan rincian sebagai berikut :
·
Melaksanakan
pelatihan dan pengembangan bagi anggota/staf ;
·
Melaksanakan
simulasi pemantapan tugas anggota;
·
Melakukan
pemberdayaan, penyuluhan dan sosialisasi kepada Satlakar lingkungan RW, Rusun
dan Pasar Tradisional.
Referensi : Bjur, Wesley, E., Taking An Institution’s ” : An Instrumen for the Evaluation of Institution, school of Public Administration, University of Southern California,Los Angeles, Mimeo, 1981. Cernia, Michael, M., Institutional Structures for Sustained Development, Paper Presented in Combained Expert Group Meeting on Social Development Innovation, UNCRD, Nagoya, 1986. Eaton., Joseph, W.,ed., Institution Building and Development , From Concepts to Application, Sage Publication, Inc., California, 1972. Esman, Milton, J., Management dimension of Development : Perspectives and Strategies, Kumarian Press, West Harford, CT, 1991. Harun, Kelembagaan Dinas Pariwisata Provinsi Jawa Timur: Studi tentang Model Pengembangan Kelembagaan di Dinas Pariwisata Provinsi Jawa Timur, Disertasi Program Pascasarjana Untag 1945 Surabaya, 2005. Siffin, William J., The Institution Building perpekstive: Properties Problem and Promise, Indiana University, Blomington, 1969. Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
Peraturan Menteri Negara
Pekerjaan Umum no 20 Tahun 2009 tentang Pedoman Manajemen Sistem
Proteksi Kebakaran di Perkotaan; Rancangan PP pangganti PP 41 Tahun
2007
Pastikan bergabung kembali di Edisi berikutnya
!
Edisi
ke – 5
Memahami Institusi Pemadam Kebakaran ( IPK )
Dalam Perspektif Administrasi Pemerintahan
Kunjungi selalu : www.tamtamfire113.blogspot.com