PENGUATAN SINERGITAS
PEMERINTAH, MASYARAKAT DAN
DUNIA USAHA
DALAM PENANGANAN DARURAT
BENCANA KEBAKARAN
STRENGTHENING SYNERGY
GOVERNMENT, COMMUNITY AND BUSINESS
HANDLING IN FIRE EMERGENCY DISASTER
GOVERNMENT, COMMUNITY AND BUSINESS
HANDLING IN FIRE EMERGENCY DISASTER
Jurnal Administrasi Kebakaran
Edisi ke -9
Oleh :
Dr. MUCHAMAD NURTAM, M.Si
I.
PENGANTAR
Bencana Kebakaran dapat terjadi dimana
saja, kapan saja tanpa mengenal waktu dan kondisi apapun baik musim kemarau
maupun musim hujan, bahkan kebakaran yang besar pada umumnya terjadi dikawasan perindustrian
maupun permukiman yang padat dan sebagian besar hanya mempunyai akses jalan
sempit, yang tidak mungkin unit mobil PMK memasuki areal kebakaran. Belum lagi
kondisi lingkungan yang tidak tersedia sumber air yang memadai dan kemacetan
lalu lintas, semakin membuat masyarakat dan dunia usaha menuntut pelayanan yang
baik.
Perkembangan akhir-akhir ini menunjukkan bahwa
di era reformasi, masyarakat semakin berani untuk mengajukan tuntutan,
keinginan dan aspirasinya kepada Pemerintah. Masyarakat semakin kritis untuk melakukan kontrol terhadap apa yang menjadi tugas pokok Institusi Pemadam Kebakaran (IPK). Namun perlu disadari bahwa tugas pelayanan kebakaran bukan semata-mata merupakan tugas IPK akan tetapi
merupakan tanggung jawab bersama antara IPK, masyarakat dan dunia usaha. Peran serta
masyarakat dan dunia usaha diperlukan dalam bentuk partisipasi untuk siaga
melakukan tindakan awal darurat bencana kebakaran sambil menunggu unit mobil
PMK datang. Hubungan antara IPK dengan masyarakat dan dunia usaha perlu dipupuk secara berkala malalui kegiatan penyuluhan, pertemuan forum
diskusi, simposium, musrenbang dan simulasi kebakaran.
Dalam Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum No. 20 Tahun 2009 tentang Pedoman Teknis Manajemen Proteksi Kebakaran di Perkotaan, dijelaskan bahwa
peran serta masyarakat dan dunia usaha diberikan wadah sebagai Satuan Relawan
Kebakaran (Satlakar). Satlakar merupakan wadah partisipasi
masyarakat dan dunia usaha dalam rangka menangani darurat bencana kebakaran dan
bagian dari pelayanan pemadaman kebakaran pada lingkungan padat hunian, rumah
susun, pasar, industri, bangunan mal dan bangunan lain milik dunia usaha.
Fungsi utama Satlakar adalah memberikan informasi kebakaran kepada IPK dan melakukan pemadaman dini sebelum unit PMK datang ke lokasi kebakaran.
Satlakar juga dibentuk dari masyarakat profesi dan forum komunikasi. Masyarakat
profesi terdiri dari orang perorangan dan atau badan yang mempunyai profesi
terkait dengan manajemen proteksi kebakaran. Sedangkan Forum Komunikasi
merupakan gabungan dari asosiasi profesi dan tokoh masyarakat. Masing-masing
mempunyai peranan penting dalam membantu Dinas Kebakaran.
Sejalan
dengan peran serta masyarakat dan dunia usaha, maka Penguatan Sinergitas juga harus menjadi perhatian serius.
Keterlibatan antar instansi, masyarakat dan dunia usaha adalah untuk menjamin
efektivitas penanganan darurat bencana kebakaran yang sinergis dan mendukung
akuntabilitas pelayanan kebakaran. Untuk memperkuat kondisi ini Institusi Pemadam Kebakaran (IPK) harus menciptakan instrumen Penguatan
Sinergitas antara Pemerintah, Masyarakat dan Dunia Usaha sebagai patner dalam
menangani darurat bencana kebakaran. Mengapa
sinergitas itu penting bagi penanganan darurat bencana kebakaran? Seperti apa konsep dan
model sinergitas manajemen
proteksi kebakaran?
II. KAJIAN TEORI
2
2.1 Sinergitas
2.1 Sinergitas
Sinergi itu kata yang mudah diucapkan tapi sulit diterapkan. Sering
terdengar kata-kata Sinergi yang keluar sengaja atau tidak sengaja dalam
diskusi kelompok, rapat koordinasi atau
pertemuan lain yang bersifat formal seperti Training and Motivation, Coaching and Counseling, Reinforcement.
Para pimpinan structural dalam organisasi public sering melontarkan kata
“SINERGI” (Synergy). “Semua harus sinergi kalau ingin mencapai tujuan”,
“Kalau tidak sinergi bagaimana bisa menerapkan strategi”. Itulah
beberapa statement mengenai Sinergi
yang terdengar dalam setiap rapat koordinasi.
Sinergi adalah bentuk Kerjasama Win-win
solution yang dihasilkan melalui kolaborasi masing-masing pihak tanpa
adanya perasaan kalah. Menurut Stephen Covey dalam bukunya 7 Habits
of Highly Effective People, jika 1 + 1 = 3, maka itulah yang disebut “Synergy”.
Sinergi adalah saling mengisi dan melengkapi perbedaan untuk mencapai hasil
lebih besar daripada jumlah bagian per bagian. Lebih lanjut menurut
Hampden-Turner (1990) menyatakan bahwa aktivitas sinergi merupakan suatu proses
yang melibatkan berbagai aktivitas, yang berjalan bersama sehingga menciptakan
sesuatu yang baru. Sinergi merupakan hasil dari suatu relasi dialogik antara
berbagai sumber pengetahuan yang berbeda, dan merupakan suatu proses yang
mengakumulasikan berbagai macam pengetahuan. Kemudian Hartanto (1996)
menyatakan sinergi adalah suatu gagasan baru, yang terbentuk dari berbagai
macam gagasan yang diajukan oleh banyak pihak hingga menghasilkan suatu gagasan
baru, yang dilandasi oleh pola pikir atau konsep yang baru. Dalam setiap
kelompok kerja dalam organisasi, kualitas sinergi yang merupakan sinergi
efektif pada hakekatnya adalah hasil dari suatu proses perpaduan dari cara-cara
bagaimana mengatasi masalah dan perpaduan gagasan yang dijalankan oleh
pihak-pihak yang saling percaya dan bersikap saling mendukung menghasilkan
suatu gagasan baru yang benar-benar memberikan kepuasan secara intrinsik bagi
semua belah pihak. Timbulnya gagasan baru dan kepuasan yang mengikutinya tidak
akan dapat diperoleh tanpa kerjasama efektif dari semua pihak.
Pengertian kualitas sinergi sebagai kualitas hasil
kerjasama yang kritikal adalah senada dengan kualitas kerjasama dalam proses
kolaboratif seperti yang diutarakan oleh Gray (1996), dan seperti diutarakan
oleh Bennis & Biederman (1997) sebagai creative collaboration, yang
menggambarkan kerjasama yang dapat menghasilkan lebih dari apa yang
diperkirakan oleh siapapun. Sesungguhnya teori sinergi (synergy) mengacu pada gaya manajemen
sinergik dalam organisasi yaitu senantiasa menciptakan harmonis (Salusu, 2004).
Oleh karena itu dapat dijelaskan
bahwa landasan teori penguatan sinergi dalam penanganan darurat bencana
kebakaran mengacu pada konsep “togetherness,
creating and sustaining performance”, sedangkan prinsip yang dikembangkan
mengacu pada prinsip dasar kompetisi yang bertumpu pada perkembangan lingkungan
strategis. Dalam istilah manajemen, sinergi diartikan bersaing dengan
lebih baik dari yang diharapkan untuk meraih kebersamaan (togetherness). Dengan demikian, maka
secara langsung sinergi atau kemitraan kerja antara pemerintah, masyarakat dan
dunia usaha akan tumbuh menjadi wadah
sinergi yang efisien; berkualitas; fleksibel dan inovatif. Oleh sebab itu,
wadah sinergi sebagai ciri kerjasama kemitraan harus senantiasa dikembangkan
secara dinamis sesuai dengan konsep “learning
organization” mengikuti trend atau perkembangan lingkungan strategis
(Senge,1996).
Silower (1998) dalam buku ”Synergy Trap” mengemukakan dasar-dasar
sinergi yang terdiri dari visi strategis, strategi budaya, kekuasaan dan
budaya, integrasi sistem dan investasi awal untuk memperoleh imbalan sebagai
premium. Keempat komponen itu mewakili unsur-unsur utama dari suatu strategi
kerjasama atau kemitraan yang harus berada pada posisinya. Dalam hal ini,
komponen sinergi yang dimaksud dikelompokkan menjadi antar Pemerintah,
masyarakat dan dunia usaha. Pada konteks keterkaitan masing-masing dasar
sinergi, berlaku bahwa jika salah satu dari keempat dasar ini tidak ada pada
saat kesepakatan kerjasama dilakukan, maka sinergipun akan menjadi ”perangkap”,
premium kemungkinan mewakili kerugian total bagi komponen sinergi. Walaupun
demikian, berkenaan dengan kondisi-kondisi persaingan ini, dasar-dasar sinergi
ini perlu diterapkan tetapi bukan satu-satunya ”komponen yang menentukan” untuk
menjamin perncapaian tujuan.
Dari beberapa pengertian sinergi tersebut dapat
diketahui orientasi konsep ber-sinergi diantaranya
adalah berikut ini:
Ø Berorientasi pada hasil dan positif;
Ø Perspektif beragam mengganti atau melengkapi paradigm kebersamaan;
Ø
Saling bekerjasama dan
bertujuan yang sama.
Melalui sinergi,
kerjasama dari paradigma yang berbeda akan mewujudkan hasil lebih besar dan efektif
sehubungan proses yang dijalani menunjukkan tujuan yang sama. Bersinergi
berarti saling menghargai perbedaan ide, pendapat dan bersedia saling
berbagi. Bersinergi tidak mementingkan diri sendiri, namun berpikir
menang-menang dan tidak ada pihak yang dirugikan atau merasa dirugikan.
Bersinergi bertujuan memadukan bagian-bagian yang terpisah. Namun demikian
bersinergi tidak selamanya berjalan baik, sebab pada konteks administrasi
public salah satu masalah dalam
sinergi menurut (LAN 2011), tercermin
dari koodinasi yang lemah secara vertikal karena gubernur, bupati serta wali
kota tidak lagi ditentukan dari pusat. Melalui proses demokrasi, rakyat
pemilihlah yang menentukan. Mereka yang menduduki jabatan presiden, gubernur,
bupati dan wali kota bisa berasal dari partai yang berbeda.
2
2.2 Koordinasi
2.2 Koordinasi
Pengertian Koordinasi berasal dari kata
bahasa Inggris coordination yang
berarti being co-ordinate, yaitu
adanya koordinat yang bersamaan dari dua garis dalam bidang datar, yang dapat
diartikan bahwa dua garis yang berpotongan pada koordinat tertentu. Sebagaimana
pengertian sinergi, koordinasi itu juga kata yang mudah
diucapkan tapi sulit diterapkan. Oleh karena itu dari pengertian sinergi dan koordinasi, kiranya dapat dijelaskan bahwa
bagian-bagian atau kegiatan-kegiatan yang secara koperatif berinteraksi,
bermakna integrasi, sedangkan produktif bermakna efektif dan efisien. Dengan
demikian sinergi memberi makna atau arti yang relatif dianggap sama dengan
koordinasi. (Stoner dan Wankel, 1992), dengan gambar sebagai berikut :
Jadi tidak salah apabila koordinasi = sinergi. Namun
demikian pengertian koordinasi jauh mempunyai makna yang luas. Pengertian
administrasi dalam kaitan dengan koordinasi adalah seluruh proses kegiatan
penetapan dan pencapaian tujuan dengan menggunakan sumber-sumbernya yang
tersedia secara efisien, bersama-sama dan melalui orang-orang yang
terkoordinasi dengan menerapkan PEOPLE (planing, executing, organising,
persuading, leading, evaluating). Hubungan koordinasi dengan sistem fungsi
administrasi dapat digambarkan dan dijelaskan bahwa sebagai tugas utama atau
inti kegiatan administrator adalah menetapkan tujuan. Setelah itu
mengkoordinasikan seluruh potensi organisasinya melalui fungsi-fungsi lainnya,
dengan melakukan komunikasi, penelitian, dan melakukan pendekatan kemanusiaan
(Sugandha, 1991). Sedangkan posisi fungsi koordinasi dalam proses
manejemen menurut George R. Terry terdapat pada posisi perencanaan, pengorganisasian,
penggerakan, dan pengawasan (Sarwoto, 1991). Jadi setiap fungsi pokok manajemen
yaitu perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, dan pengawasan selalu harus
dilakukan koordinasi sehinga pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut dapat
terselenggara secara terarah dan terpadu serta menjamin tercapainya tujuan
organisasi yang telah ditentukan.
Kemudian pendapat lain dikemukakan oleh Koontz dalam Handoko (1997)
yang mengemukakan bahwa koordinasi adalah inti manajemen, yang bertujuan untuk
mewujudkan keharmonisan upaya berbagai individu kearah tercapainya tujuan
kelompok. Di dalam administrasi, koordinasi bersangkutpaut dengan penyerasian
serta penyatuan tindakan dari sekelompok orang (William H. Newman). Koordinasi
adalah penyerasian yang teratur usaha-usaha untuk menyiapkan jumlah yang cocok
menurut mestinya, waktu dan pengarahan pelaksanaan hingga menghasilkan
tindakan-tindakan harmonis dan terpadu menuju sasaran yang telah ditentukan.
(george R. Terry). Koordinasi adalah proses pemaduan sasaran dan kegiatan dari unit-unit
kerja yang terpisah untuk dapat mencapai tujuan organisasi secara efektif.
(James AF Stoner). Di dalam administrasi, koordinasi bersangkutpaut dengan
penyerasian serta penyatuan tindakan dari sekelompok orang (William H. Newman).
Koordinasi adalah proses pemaduan sasaran dan kegiatan dari unit-unit kerja
yang terpisah untuk dapat mencapai tujuan organisasi secara efektif. (James AF
Stoner).
Lebih lanjut menurut G.R. Terry koordinasi adalah suatu usaha yang
sinkron dan teratur untuk menyediakan jumlah dan waktu yang tepat, dan
mengarahkan pelaksanaan untuk menghasilkan suatu tindakan yang seragam dan
harmonis pada sasaran yang telah ditentukan. Sedangkan menurut E.F.L. Brech,
koordinasi adalah mengimbangi dan menggerakkan tim dengan memberikan lokasi
kegiatan pekerjaan yang cocok dengan masing-masing dan menjaga agar kegiatan
itu dilaksanakan dengan keselarasan yang semestinya di antara para anggota itu
sendiri (Hasibuan, 2007:85). Menurut E. F. L. Brech dalam bukunya, The Principle and Practice of Management
: Koordinasi adalah mengimbangi dan menggerakkan tim dengan memberikan lokasi
kegiatan pekerjaan yang cocok kepada masing-masing dan menjaga agar kegiatan itu
dilaksanakan dengan keselarasan yang semestinya di antara para anggota itu sendiri. Kemudian menurut Mc. Farland (Handayaningrat, 1985:89) koordinasi adalah suatu proses di mana pimpinan mengembangkan pola usaha kelompok secara teratur di antara bawahannya dan menjamin kesatuan tindakan di dalam mencapai tujuan bersama. Sementara itu, Handoko (2003:195) mendefinisikan koordinasi (coordination) sebagai proses pengintegrasian tujuan-tujuan dan kegiatan-kegiatan pada satuan-satuan yang terpisah (departemen atau bidang-bidang fungsional) suatu organisasi untuk mencapai tujuan organisasi secara efisien. Menurut Handoko (2003:196) kebutuhan akan koordinasi tergantung pada sifat dan kebutuhan komunikasi dalam pelaksanaan tugas dan derajat saling ketergantungan bermacam-macam satuan pelaksananya. Hal ini juga ditegaskan oleh Handayaningrat (1985:88) bahwa koordinasi dan komunikasi adalah sesuatu hal yang tidak dapat dipisahkan. Selain itu, Handayaningrat juga mengatakan bahwa koordinasi dan kepemimpinan (leadership) adalah tidak bisa dipisahkan satu sama lain, karena satu sama lain saling mempengaruhi.
kegiatan pekerjaan yang cocok kepada masing-masing dan menjaga agar kegiatan itu
dilaksanakan dengan keselarasan yang semestinya di antara para anggota itu sendiri. Kemudian menurut Mc. Farland (Handayaningrat, 1985:89) koordinasi adalah suatu proses di mana pimpinan mengembangkan pola usaha kelompok secara teratur di antara bawahannya dan menjamin kesatuan tindakan di dalam mencapai tujuan bersama. Sementara itu, Handoko (2003:195) mendefinisikan koordinasi (coordination) sebagai proses pengintegrasian tujuan-tujuan dan kegiatan-kegiatan pada satuan-satuan yang terpisah (departemen atau bidang-bidang fungsional) suatu organisasi untuk mencapai tujuan organisasi secara efisien. Menurut Handoko (2003:196) kebutuhan akan koordinasi tergantung pada sifat dan kebutuhan komunikasi dalam pelaksanaan tugas dan derajat saling ketergantungan bermacam-macam satuan pelaksananya. Hal ini juga ditegaskan oleh Handayaningrat (1985:88) bahwa koordinasi dan komunikasi adalah sesuatu hal yang tidak dapat dipisahkan. Selain itu, Handayaningrat juga mengatakan bahwa koordinasi dan kepemimpinan (leadership) adalah tidak bisa dipisahkan satu sama lain, karena satu sama lain saling mempengaruhi.
2.2.1 Masalah dalam Koordinasi
Peningkatan spesialisasi akan menaikkan kebutuhan akan koordinasi.
Tetapi semakin besar derajat spesialisasi, semakin sulit bagi manajer untuk
mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan khusus dari satuan-satuan yang berbeda. Paul
R. Lawrence dan Jay W. Lorch (Handoko, 2003:197) mengungkapkan 4 (empat) tipe
perbedaan dalam sikap dan cara kerja yang mempersulit tugas pengkoordinasian,
yaitu:
- Perbedaan dalam orientasi terhadap tujuan tertentu. Para anggota dari departemen yang berbeda mengembangkan pandangan mereka sendiri tentang bagaimana cara mencapai kepentingan organisasi yang baik. Misalnya bagian penjualan menganggap bahwa diversifikasi produk harus lebih diutamakan daripada kualtias produk. Bagian akuntansi melihat pengendalian biaya sebagai faktor paling penting sukses organisasi;
- Perbedaan dalam orientasi waktu.Manajer produksi akan lebih memperhatikan masalah-masalah yang harus dipecahkan segera atau dalam periode waktu pendek. Biasanya bagian penelitian dan pengembangan lebih terlibat dengan masalah-masalah jangka panjang;
- Perbedaan dalam orientasi antar-pribadi, Kegiatan produksi memerlukan komunikasi dan pembuatan keputusan yang cepat agar prosesnya lancar, sedang bagian penelitian dan pengembangan mungkin dapat lebih santai dan setiap orang dapat mengemukakan pendapat serta berdiskusi satu dengan yang lain;
- Perbedaan dalam formalitas struktur. Setiap tipe satuan dalam organisasi mungkin mempunyai metode-metode dan standar yang berbeda untuk mengevaluasi program terhadap tujuan dan untuk balas jasa bagi karyawan.
2.2.2 Tipe-Tipe Koordinasi
Menurut Hasibuan (2007:86-87) terdapat 2 (dua) tipe koordinasi,
yaitu:
- Koordinasi vertikal adalah kegiatan-kegiatan penyatuan, pengarahan yang dilakukan oleh atasan terhadap kegiatan unit-unti, kesatuan-kesatuan kerja yang ada di bawah wewenang dan tanggungjawabnya;
- Koordinasi horisontal adalah mengkoordinasikan tindakan-tindakan atau kegiatan-kegiatan penyatuan, pengarahan yang dilakukan terhadap kegiatan-kegiatan penyatuan, pengarahan yang dilakukan terhadap kegiatan-kegiatan dalam tingkat organisasi (aparat) yang setingkat.
2.2.3 Sifat-Sifat Koordinasi
Menurut Hasibuan (2007:87) terdapat 3 (tiga) sifat koordinasi,
yaitu:
- Koordinasi adalah dinamis bukan statis;
- Koordinasi menekankan pandangan menyeluruh oleh seorang koordinator (manajer) dalam rangka mencapai sasaran;
- Koordinasi hanya meninjau suatu pekerjaan secara keseluruhan.
Asas koordinasi
adalah asas skala (hirarki) artinya koordinasi itu dilakukan menurut
jenjang-jenjang kekuasaan dan tanggungjawab yang disesuaikan dengan
jenjang-jenjang yang berbeda-beda satu sama lain. Tegasnya, asas hirarki ini
bahwa setiap atasan (koordinator) harus mengkoordinasikan bawahan langsungnya.
2.2.4 Syarat-Syarat Koordinasi
Menurut Hasibuan (2007:88) terdapat 4 (empat) syarat koordinasi,
yaitu:
- Sense of cooperation (perasaan untuk bekerjasama), ini harus dilihat dari sudut bagian per bagian bidang pekerjaan, bukan orang per orang;
- Rivalry, dalam perusahaan-perusahaan besar sering diadakan persaingan antara bagian-bagian, agar bagian-bagian ini berlomba-lomba untuk mencapai kemajuan;
- Team spirit, artinya satu sama lain pada setiap bagian harus saling menghargai;
- Esprit de corps, artinya bagian-bagian yang diikutsertakan atau dihargai, umumnya akan menambah kegiatan yang bersemangat.
Koordinasi
adalah suatu istilah yang mengandung pengertian koperasi (cooperation sebab
tanpa adanya koperasi tidak mungkin dapat dilakukan. Mc. Farland
(Handayaningrat, 1985:90) mendefinisikan koperasi merupakan kehendak dari
individu-individu untuk menolong satu sama lain. Namun antara koordinasi dan
koperasi berbeda. Menurut Handayaningrat (1985:90) pada koperasi terdapat unsur
kesukarelaan atau sifat suka rela (voluntary
attitude) dari orang-orang di dalam organisasi. Sedangkan koordinasi tidak
terdapat unsur kerjasama secara suka rela, tetapi bersifat kewajiban (compulsory).
2.2.5 Ciri-Ciri Koordinasi
Menurut Handayaningrat (1985:89-90) koordinasi mempunyai ciri-ciri
sebagai berikut:
- Bahwa tanggungjawab koordinasi adalah terletak pada pimpinan. Oleh karena itu, koordinasi adalah merupakan tugas pimpinan. Koordinasi sering dicampur-adukkan dengan kata koperasi yang sebenarnya mempunyai arti yang berbeda. Sekalipun demikian pimpinan tidak mungkin mengadakan koordinasi apabila mereka tidak melakukan kerjasama. Oleh kaerna itu, maka kerjasama merupakan suatu syarat yang sangat penting dalam membantu pelaksanaan koordinasi;
- Adanya proses (continues process). Karena koordinasi adalah pekerjaan pimpinan yang bersifat berkesinambungan dan harus dikembangkan sehingga tujuan dapat tercapai dengan baik;
- Pengaturan secara teratur usaha kelompok. Oleh karena koordinasi adalah konsep yang ditetapkan di dalam kelompok, bukan terhadap usaha individu, maka sejumlah individu yang bekerjasama, di mana dengan koordinasi menghasilkan suatu usaha kelompok yang sangat penting untuk mencapai efisiensi dalam melaksanakan kegiatan organisasi. Adanya tumpang tindih, kekaburan dalam tugas-tugas pekerjaan merupakan pertanda kurang sempurnanya koordinasi;
- Konsep kesatuan tindakan. Hal ini adalah merupakan inti dari koordinasi. Kesatuan usaha, berarti bahwa harus mengatur sedemikian rupa usaha-usaha tiap kegiatan individu sehingga terdapat adanya keserasian di dalam mencapai hasil;
- Tujuan koordinasi adalah tujuan bersama, kesatuan dari usaha meminta suatu pengertian kepada semua individu, agar ikut serta melaksanakan tujuan sebagai kelompok di mana mereka bekerja.
2.2.6 Pendekatan-Pendekatan Untuk Mencapai
Koordinasi Yang Efektif
Pendekatan ini dapat di tempuh dengan dua jalan yaitu:
1. Pendekatan Potensi Koordinasi, berupa
Pendekatan koordinasi ini meliputi sistem:
a.
Sistem Informasi Vertical.
Adalah suatu sistem di mana informasi dapat di kirimkan ke atas dan kebawah jenjang
organisasi.
b.
Sistem Informasi Lateral.
Sistem ini mengabaikan rantai komando. Hubungan lateral (hubungan ke samping
atau sejajar) ini memungkinkan adanya pertukaran informasi yang di butuhkan
dapat di pertanggung jawabkan. Misalnya dalam kasus tanah perlu adanya
informasi lateral atau badan pertanahan nasional, departemen dalam negeri,
departemen kehutanan, dan departemen kehutanan.
c.
Sistem Informasi Manajer
Penghubung. Manajer penghubung mempunyai wewenang formal atas semua unit yang
terlibat dalam sebuah proyek. Manajer penghubung perlu di laksanakan apabila di
perkirakan koordinasi secara efektif tidak berhasil di laksanakan.
3.
Pendekatan Struktur. Pendekatan
ini di lakukan apabila perusahaan merasakan
adanya iklim yang tidak sehat pada unit-unit karena adanya penunpukan
kegiatan pada satu unit. Pendekatan ini di kenal sebagai organisasi matrik.
2.3 BENTUK/MODEL SINERGITAS
Untuk
menciptan rasa peduli masyarakat terhadap kejadian kebakaran perlu dihidupka
kembali peranan Satuan Sukarelawan ( Satlakar )
mulai dari tingkat RT/RW, Kelurahan sampai dengan Kecamatan, dengan
menerapkan Sistem Keamanan Kebakaran Lingkungan (SKKL). Dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 20 Tahun 2009 tentang
Pedoman Teknis Manajemen Proteksi
Kebakaran di Perkotaan, dapat dijelaskan bahwa peran serta masyarakat
diberikan wadah sebagai Satuan Relawan Kebakaran (Satlakar). Satlakar
merupakan wadah partisipasi masyarakat dalam rangka mengatasi ancaman bahaya
kebakaran dan bagian dari pelayanan pemadaman kebakaran pada lingkungan padat
hunian, rumah susun dan pasar. Fungsi utama Satlakar adalah memberikan
informasi kejadian kebakaran kepada IPK dan melakukan pemadaman
dini sebelum IPK datang ke tempat terjadinya kebakaran.
Satlakar juga dibentuk dari masyarakat profesi dan forum komunikasi. Masyarakat
profesi terdiri dari orang perorangan dan atau badan yang mempunyai profesi
terkait dengan disiplin pencegahan dan penanggulangan kebakaran. Sedangkan
Forum Komunikasi merupakan gabungan dari asosiasi profesi dan tokoh masyarakat.
Masing-masing mempunyai peranan yang sangat penting dalam hal upaya untuk
membantu Dinas Kebakaran.
Tindakan konkrit yang diharapkan IPK kepada para Balakar/Satlakar, Dunia Usaha/Masyarakat Profesi dan Forum komunikasi
pada saat terjadi kebakaran adalah :
1. Melaporkan kejadian kebakaran dengan cepat
tanpa menunggu api besar dan tak terkendali. Pelayanan kebakaran tidak dipungut
biaya;
2. Bantuan mamadamkan api pada tahap awal,
karena bila upaya ini gagal api dapat membesar;
3. Bantuan kelancaran jalan dengan cara :
menepi dan memberi kelancaran akselerasi mobil PMK, membuka portal/penghalang
jalan bagi unit mobil PMK dan membantu meletakkan barang-barang yang akan evakuasi;
4. Bantuan informasi mengenai obyek yang
terbakar, asal api, adanya orang yang terperangkap api dan macam-macam benda yang terbakar;
Sejalan dengan peran serta
masyarakat yang menjadi harapan IPK, maka peranan
sinergitas antar Instansi terkait juga
harus menjadi perhatian serius karena dari sinilah fungsi administrasi
pemerintah kota berjalan dengan baik atau tidak. Keterlibatan instansi terkait
satu-satunya dilakukan lewat koordinasi pelaksanaan tugas yang diwujudkan dalam
Prosedur Tetap (PROTAP). Esensi dari protap adalah Standar Operasional Prosedur
(SOP). Tujuan keterlibatan antar instansi adalah untuk menjamin efektivitas
penanganan yang sinergis dan mendukung akuntabilitas pelayanan kebakaran.
Sebagai tindak lanjut untuk membina
hubungan dalam jangka panjang dan berkesinambungan,
Dinas IPK harus melakukan kegiatan untuk menunjang sinergitas
minat masyarakat dalam berpartisipasi melalui :
1. Pendidikan dan Latihan Balakar atau
Satlakar;
2. Koordinasi dengan pihak Kelurahan dan
Kecamatan untuk menggerakkan masyarakatnya agar dapat menjalankan fungsi wadah
Balakar/Satlakar;
Agar tercipta dengan baik
hubungan antar instansi terkait ( antar Satuan Kerja Perangkat Daerah/SKPD)
maka IPK sebagai pembina teknis pemadaman kebakaran
koordinasi dengan Para Camat dan Lurah untuk menghidupkan fungsi Satlakar melalui
kegiatan :
1. Terselenggarakannya program pendidikan dan
latihan anggota Balakar/Satlakar;
2. Memberi pengarahan, pertimbangan dan
jadual dalam hal pelaksanaan tugas Balakar/Satlakar;
3. Mengawasi kegiatan Balakar/Satlakar di
wilayah kelurahan masing-masing;
4. Menyusun program kerja tahunan dan lima
tahunan;
5. Memberikan rekomendasi atas pembentukkan
unit-unit Balakar/Satlakar.
Terhadap Masyarakat Profesi/Dunia
Usaha dan Forum Komunikasi Institusi Pemadam Kebakaran wajib mendorong, memberikan fasilitas keberadaan
peran serta masyarakat profesi dalam mengontrol dan mengendalikan hal teknis
yang berkaitan dengan pencegahan dan penanggulangan kebakaran terutama mengenai
persamaan persepsi dalam mengatur strategi, taktis dan tugas tugas penanganan
darurat bencana kebakaran.
III.
URGENSI SINERGITAS BAGI PENANGANAN DARURAT
BENCANA KEBAKARAN
Memang diakui kesadaran masyarakat dalam hal proteksi kebakaran bisa
dikatakan tergolong masih rendah, Penanganan kebakaran selama ini terkesan
hanya dilakukan oleh IPK, sehingga sering tidak efektif. Substansi penanganan darurat bencana kebakaran
sebenarnya mencakup aspek proteksi kebakaran, sedangkan yang meliputi tindakan dapat dilihat pada saat sebelum,
pada saat terjadi/pemadaman maupun setelah terjadi kebakaran. Penanganan
kebakaran di level kota ditangani
oleh IPK. Lingkup kewenangannya adalah proteksi kebakaran dan
pemberdayaan masyarakat /dunia usaha dalam penanganan darurat bencana
kebakaran.
Pada umumnya efektivitas pemadaman ditopang oleh 2 (dua) komponen utama yakni response
time dan bobot serangan (weight of attack).
Namun perkembangan terakhir (kajian di Australia, Inggris dan Jepang)
menunjukan bahwa efektivitas pemadaman tidak semata-mata tergantung pada response
time dan kualitas serangan langsung, tetapi diperluas kepada kondisi
apakah upaya pencegahan kebakaran telah dilakukan, melakukan analisis
resiko bahaya kebakaran dan perhitungan dalam pengerahan SDM,
kendaraan dan peralatan (logistik)
yang setimpal dengan resiko tersebut. Hasil evaluasi terhadap informasi dan
data lapangan diperoleh bahwa sebaiknya
materi Protap / SOP Sinergitas/koordinasi disusun serta disesuaikan
dengan pentahapan penanganan kebakaran seperti tahap pra kebakaran, saat
kejadian dan pasca kebakaran yang dengan substansinya tersusun sebagai
berikut :
Pra / sebelum kejadian kebakaran :
1.
SOP Sinergitas/Koordinasi
pencegahan bahaya kebakaran;
2. SOP Sinergitas/Koordinasi dalam pembinaan
partisipasi masyarakat;
3. SOP Sinergitas/Koordinasi dalam kontrol
produk berpotensi bahaya kebakaran;
4. SOP Sinergitas/Koordinasi pembangunan
infrastruktur pendukung operasi pemadaman;
5. SOP Sinergitas/Koordinasi dalam pendeteksian
kebakaran .
Pada saat kejadian kebakaran
1.
SOP Sinergitas/Koordinasi
dalam komunikasi kejadian kebakaran;
2.
SOP Sinergitas/Koordinasi
tindakan operasional pemadaman kebakaran;
3.
SOP Sinergitas/Tindakan
penyelamatan (rescue) akibat kebakaran / bencana umum lainnya;
4.
SOP Sinergitas/Koordinasi
pelaporan kejadian kebakaran.
Pasca kejadian kebakaran
1.
SOP Sinergitas/Koordinasi
dalam pemeriksaan pasca kebakaran;
2.
SOP Sinergitas
Koordinasi dalam mobilisasi pertolongan korban kebakaran;
3.
SOP Sinergitas/Koordinasi
dalam penyelidikan sebab-sebab kejadian kebakaran;
4.
SOP Sinergitas/Koordinasi
penyusunan data & statistik kebakaran;
IV.
KONSEP MANAJEMEN PROTEKSI
KEBAKARAN
Dalam ketentuan Permen Pu No.
20/PRT/M/2009 Tentang Pedoman Teknis Manajemen Proteksi Kebakaran (MPK) di
Perkotaan dijelaskan bahwa MPK merupakan segala upaya yang menyangkut sistem
organisasi, personil, sarana dan prasarana serta tata laksana untuk mencegah,
mengeliminasi serta meminimalisasi dampak kebakaran di bangunan gedung,
lingkungan dan perkotaan. Pengaturan ini dimaksudkan untuk mewujudkan kesiapan,
kesigapan dan keberdayaan masyarakat, pengelola gedung serta dinas terkait
dalam mencegah dan menanggulangi kebakaran. Dari penjelasan tersebut, maka
kegiatan MPK ini meliputi :
1. Pencegahan kebakaran dengan melakukan
kegiatan pemeriksaan desain bangunan dan lingkungan khususnya peralatan
proteksi kebakaran (antara lain : alat
pemadam kebakaran,alarm kebakaran,hydrant gedung, springkler), sumber air,jalur
evakuasi dan akses untuk pemadaman kebakaran. Pemeriksaan berkala untuk
menjamin kesiagaan manajemen penanggulangan kebakaran bangunan dan lingkungan,
serta melakukan pengawasan dan pengendalian bahan yang mudah terbakar;
2. Pemadaman Kebakaran dengan menerapkan prefire plan yang telah disusun dan
disimulasikan terhadap kejadian sebenarnya sesuai dengan strategi dan taktik
yang harus digunakan. Menjalankan fungsi koordinasi yang diperlukan seperti :
(Memudahkan jalur pencapaian lokasi kebakaran dengan bantuan Polisi dan Dinas
Perhubungan, mengamankan lokasi dengan bantuan Polisi dan Linmas, memperbesar
debet suplai air dengan bantuan PDAM, Mematikan listrik dengan bantuan PLN,
Menyiapkan ambulan dengan bantuan RSUD dan PMI, Mengatur/mengamankan jalur
komunikasi radio) ;
3. Perlindungan jiwa, harta benda dari
kebakaran dan bencana lain dalam bentuk Pelayanan evakuasi dan pertolongan
pertama dari tempat kejadian serta bekerja sama sama dengan instansi terkait
untuk melakukan pertolongan;
4. Pembinaan masyarakat melalui kegiatan
penyuluhan dan pelatihan kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan
partisipasi dan kepedulian masyarakat dalam mengatasi ancaman bahaya kebakaran.
DAFTAR
PUSTAKA
Buku-buku
Ismail Solihin,
2012, Manajemen Strategik, Erlangga,
Jakarta
Ketchen Jr. D. et all. 2009. "Strategy 2008-2009".
McGraw-Hill, New York
LPM-ITS, 2003, Laporan Akhir Penyusunan Rencana Manajemen
Penanggulangan Kebakaran, Surabaya
Nurjanah dkk,
2012, Manajemen Bencana, Alfaneta,
Bandung
Sugandha Dann, 1986, Manajemen
Administrasi, Sinar Baru, Bandung
_______ , 1988, Koordinasi Alat Pemersatu Gerak
Administrasi, Intermedia, Jakarta
Suprapto, 2009, Makalah Kajian Mengenai Koordinasi
Instansional Dalam Penanganan Kebakaran,
Pusat Litbang Permukiman Dep. PU, Bandung
Dokumen-dokumen
Undang-undang
Nomor 24 tahun 2007, tentang Kebencanaan
Undang-undang
Nomor 28 Tahun 2002 , tentang Bangunan
Gedung
Peraturan
Pemerintah Nomor 36 tahun 2005, tentang
pelaksanaan Undang-Undang Bangunan Gedung
Peraturan
Menteri Negara Pekerjaan Umum No.20 /KPTS/2009, tentang Ketentuan Teknis Manajemen Penanggulangan Kebakaran di Perkotaan
Peraturan
Menteri Negara Pekerjaan Umum No 26 Tahun 2008, tentang Persyaratan Teknis Sistem Proteksi Kebakaran pada Bangunan dan Lingkungan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan.. dan jangan membuat spam.. Boleh promosi tapi jangan berkali-kali.. jika melanggar ketentuan tersebut maka komentar anda akan saya hapus selamanya.....