KEBAKARAN, MUSIBAH ATAU BENCANA ?
Jurnal Administrasi Kebakaran
Edisi ke -7
Oleh :
Dr.
Muchamad Nurtam, M.Si
I.
PENGANTAR
Sebelum era reformasi, kehidupan politik di negeri
ini boleh dikatakan lebih bersifat sentralistik. Sekarang makin terbuka dan
disadari oleh semua kalangan bahwa terdapat suatu keniscayaan bahwa tidak
semua urusan negara harus dilakukan oleh negara/pemerintah. Sebagian harus
dilakukan oleh masyarakat sendiri. Yang sebelumnya bersifat top down planning, sekarang bersifat bottom up
planning, seperti juga pola penanganan manajemen
strategi kebakaran ada yang bersifat top
down strategy dan ada juga b`ottom up strategy. Model perencanaan pembangunan partisipatif telah diadopsi
dalam program proteksi kebakaran dalam perspektif kebencanaan. Pentingnya
proteksi kebakaran yang memadukan pendekatan kebencanaan, diharapkan dapat
mengantisipasi kebakaran yang mengancam kehidupan masyarakat. Jika selama ini pendekatan
penanganan bencana kebakaran lebih bersifat penanganan darurat (pemadaman
kebakaran), maka di masa mendatang penanganan bencana kebakaran haruslah
bersifat antisipatif yang berbasis mitigasi dan pengurangan resiko.
Penanganan kebakaran
berbasis mitigasi akan memperkuat lagi sistem mitigasi kebencanaan berbasis
pengetahuan mengurangi resiko, antisipasi bencana kebakaran serta penanganan
darurat yang selama ini sudah berjalan. Namun fakta empiris berbicara lain, masyarakat atau bahkan pemerintah pun
memandang bahwa kebakaran merupakan musibah yang dialami masyarakat. Kebakaran
semata-mata ujian dan peringatan keras yang diberikan oleh Tuhan kepada
hambahnya sebagai instrumen/alat uji tingkat keimanan dan ketaqwaan. Benarkah
demikian ? apakah kebakaran itu musibah atau bencana ?
II.
Status Bencana Kebakaran
Bencana kebakaran sangat beda dengan bencana umum yang lain seperti
gempa bumi, gunung meletus, sunami, banjir yang bisa diprediksi dan mempunyai
status waspada, siaga, awas. Tetapi Bencana kebakaran tidak bisa diprediksi dan
tidak mempunyai status waspada, siaga, namun langsung AWAS. Pada bencana selain
kebakaran, kemajuan teknologi yang ada biasanya bisa
didahului dengan datangnya peringatan dini . Hal ini menjadi sangat
memungkinkan untuk dapat menekan timbulnya kerugian dan korban jiwa yang lebih
besar. Tidak demikian halnya dengan bencana kebakaran, proses datangnya selalu
sulit diprediksi. Kapan datangnya, apa penyebabnya, tingkat cakupanya serta
seberapa besar dampak yang ditimbulkanya, adalah hal-hal yang tidak bisa
diperkirakan oleh kemampuan manusia.
Dalam uji coba yang dilakukan oleh National Fire Protection Association
(NFPA), dihasilkan bahwa pertumbuhan api sejak penyulutan awal sampai dengan
pembakaran penuh diperlukan waktu hanya dua menit. Sedangkan peningkatan suhu
panas berbanding lurus dengan waktu. Setiap satu menit menghasilkan panas 100
derajat, dua menit 200 derajat, tiga menit 300 derajat dan seterusnya
berbanding lurus dengan waktu sampai dilakukannya upaya pemadaman. Senyawa antara bahan dengan udara dalam panas tertentu yang
produknya dapat diihat dan dirasakan seperti adanya cahaya dan panas serta
meninggalkan asap dan arang. Dari uji coba tersebut maka terlihat deferensial yang
mencolok antara bencana umum dengan bencana kebakaran, teknologi yang ada hanya dapat membantu memberi
peringatan dini, tetapi mempunyai kemampuan yang sangat terbatas untuk memberi
waktu persiapan dan pertolongan dalam menghadapi ancamannya, karena peringatan
hanya dapat diberikan pada saat kebakaran atau api dalam kondisi sedang
berlangsung. Apalagi
tingkat kerentanan dan bahaya asap yang dihasilkan dari kebakaran tersebut bisa
menghasilkan gas racun yang paling ditakuti oleh anggota PMK. Hampir semua
korban jiwa bencana kebakaran itu karena menghirup asap, sehingga tidak ada status lain yang pantas disandang kecuali AWAS
yang selalu menghantui siapapun. Oleh karena itu cara yang paling efektif dalam menghadapi terjadinya
bencana kebakaran adalah dengan mencegah, mengeliminasi, dan meminimasi dampak
terjadinya bencana kebakaran melalui eksekusi manajemen proteksi kebakaran di
perkotaan.
III.
Paradigma Bencana Kebakaran
Bencana alam yang bersifat meteorologis
seperti banjir dan kekeringan merupakan bencana alam yang paling banyak terjadi
di Surabaya. Kekhawatiran terbesar pada abad sekarang
ini adalah bencana kebakaran yang
disebabkan oleh pemanasan global, kekeringan,
pembalakan liar dan permukiman serta gedung yang tidak memenuhi persyaratan keamanan
kebakaran. Teknologi dan
informasi semakin berkembang membawa perubahan cara pandang khusus untuk
melakukan upaya-upaya penanganan
kebakaran melalui perspektif kebencanaan sebagai pemikiran dan
pendekatan baru dalam mengatasi intensitas kebakaran yang semakin tahun semakin
meningkat. Oleh karena itu penting kiranya pada bagian ini akan diuraikan
paradigma cara/tindakan untuk menanggulangi bencana kebakaran sebagai berikut :
1. Paradigma Bantuan Darurat
Paradigma ini
memandang bahwa kebakaran itu musibah sehingga masyarakat dipandang sebagai
korban dan penerima bantuan. Paradigma ini menfokuskan diri pada penanganan
darurat kebakaran, melalui pemberian santunan, evakuasi pertolongan korban,
penampungan dan pelayanan kesehatan.
2. Paradigma Mitigasi
Paradigma ini
memandang bahwa kebakaran itu bisa dicegah dan minimalisir. Daerah rawan
terhadap ancaman kebakaran merupakan obyek yang harus dibudayakan dalam
penanganan pra kebakaran. Tujuan utama mitigasi adalah pembuatan struktur
bangunan, relokasi permukiman, peraturan bangunan dan panataan ruang.
Kesemuanya ini masuk dalam manajemen
proteksi kebakaran;
3. Paradigma Pembangunan
Paradigma ini
memfokuskan pada faktor penyebab dan proses terjadinya kerentanan masyarakat
terhadap bencana;
4. Paradigma Pengurangan Resiko
Seperti halnya
pada paradigma mitigasi, paradigma ini memandang bahwa kebakaran itu bisa
dicegah dan minimalisir. Analisis resiko bencana kebakaran sebagai upaya untuk
meningkatkan kemampuan dalam mengelola dan mengurangi resiko terjadinya bencana
kebakaran yang dilakukan oleh semua stakeholder
melalui pemberdayaan masyarakat (Trilogy
Synergy).
Dari keempat paradigma tersebut akan
membawa implikasi pada aspek manajemen proteksi kebakaran di kota Surabaya. Aspek pencegahan bersumber dari aksioma mitigasi, pembangunan dan
pengurangan Resiko. Sedangkan aspek penanggulangan kebakaran
bersumber dari aksioma bantuan darurat.
Dari sinilah semakin jelas bahwa kebakaran merupakan
domain dari bencana, termasuk juga letusan gunung berapi, gempa bumi, sunami,
banjir, dan kekeringan. Sehingga lahirlah beberapa pentahapan penanganan
kebakaran seperti :
tahap pra kebakaran dengan substansinya yang tersusun sebagai berikut :
a. Pencegahan umum bahaya kebakaran;
b. Mapping daerah rawan dan identitifikasi
pengurangan resiko kebakaran;
c. Proses izin HO dan IMB;
d. Pembinaan partisipasi masyarakat;
e. Kontrol produk berpotensi bahaya kebakaran;
f. Pembangunan infrastruktur pendukung operasi pemadaman;
g. Pendeteksian kebakaran.
Kemudian pada saat kejadian
kebakaran melalui :
a. Pencapaian di lokasi kebakaran tidak lebih
dari 15 menit;
b. Komunikasi kejadian kebakaran;
c. Tindakan operasional pemadaman kebakaran;
d. Tindakan penyelamatan (rescue)
akibat kebakaran / bencana umum lainnya;
e. Sistem pelaporan kejadian
kebakaran.
Lalu pada tahap pasca kejadian
kebakaran melalui :
a. Mitigasi/pemeriksaan pasca kebakaran;
b. Mobilisasi pertolongan korban kebakaran & bencana lain;
c. Penyelidikan sebab-sebab kejadian kebakaran;
d. Penyusunan data & statistik kebakaran.
Sebagaimana diketahui SOP merupakan pedoman
untuk melaksanakan tugas pekerjaan sesuai
dengan fungsi dan alat ukur kinerja pemerintah berdasarkan indicator
administrasi dan prosedur apakah sesuai dengan tata kerja dan sistem kerja pada
setiap SKPD, tujuannya adalah menciptakan keselarasan, sinergi, dan komitmen
tentang apa yang patut dikerjakan.
Untuk mendorong pelayanan kebakaran yang lebih efektif, efisien dan
akuntabel, Dinas Kebakaran kota Surabaya
harus mulai mencanangkan penerapan
prinsip-prinsip penyelenggaraan tata kelola operasional kebakaran yang baik dan
bersih (good governance and clean
government) melalui penerapan reformasi pelayanan birokrasi, yang secara
umum ditujukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat. Secara
operasional wujud peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat adalah penyempurnaan SOP sebagai proses
keterlibatan SKPD dalam menyelenggarakan administrasi
kebakaran sehingga lebih mencerminkan birokrasi yang mampu menjalankan
fungsi pelayanan kebakaran yang sinergi, berkualitas, memuaskan, transparansi,
dan dapat dipertanggungjawabkan.
IV.
Hubungan Bencana Umum dengan Bencana Kebakaran
Jauh sebelum terjadinya bencana gempa bumi dan tsunami pada 26 Desember 2004 di Bumi Serambi
Mekkah Nanggroe Aceh Darussalam yang akhirnya membidani lahirnya Undang-Undang
Nomor 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana, manajemen proteksi kebakaran sudah dirumuskan
dengan menggunakan paradigma bencana melalui
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung dan Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2005 tentang pelaksanaan Undang-Undang Bangunan Gedung.
Salah satu dalam pasal 17 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2002 disebutkan bahwa : Bangunan gedung selain rumah tinggal harus
dilengkapi dengan sistem proteksi pasif dan aktif. Sistem proteksi
kebakaran pasif dibentuk melalui pengaturan penggunaan bahan dan komponen
struktur bangunan, kompartemenisasi atau pemisahan bangunan berdasarkan tingkat
ketahanan terhadap api, serta perlindungan terhadap bukaan. Sementara sistem
proteksi kebakaran aktif terdiri dari sistem pendeteksian kebakaran
manual/otomatis, sistem pemadam kebakaran berbasis air (springkler, pipa tegak, slang kebakaran), serta Pemadam Api Ringan (APAR). Lebih lanjut dalam ketentuan ini
disebutkan pula bahwa setiap bangunan gedung dengan
ketinggian di atas lima lantai harus menyediakan sarana hubungan vertikal
berupa lift dan lift kebakaran. Lift kebakaran dapat berupa lift khusus
kebakaran atau lift penumpang biasa atau lift barang yang dapat diatur pengoperasiannya
sehingga dalam keadaan darurat dapat digunakan secara khusus oleh petugas
pemadam kebakaran.
Kemudian setiap
bangunan gedung juga harus menyediakan sarana evakuasi berupa sistem peringatan
bahaya bagi pengguna, pintu keluar darurat, dan jalur evakuasi yang dapat
menjamin kemudahan pengguna apabila terjadi bencana atau keadaan darurat.
Penyediaan sarana evakuasi disesuaikan dengan fungsi dan klasifikasi bangunan
gedung, jumlah dan kondisi pengguna bangunan gedung, serta jarak pencapaian ke
tempat yang aman. Sarana pintu keluar darurat dan jalur evakuasi harus
dilengkapi dengan tanda arah yang mudah dibaca dan jelas. Setiap bangunan
gedung harus memiliki manajemen penanggulangan bencana. Untuk memperkuat dan menyempurnakan ketentuan ini, maka ketentuan manajemen
proteksi kebakaran dirumuskan dengan
menggunakan pendekatan bencana umum,
yaitu:
1) Peraturan Menteri Negara Pekerjaan Umum No
26 Tahun 2008 tentang
PersyaratanTeknis
Sistem Proteksi Kebakaran pada Bangunan
dan Lingkungan;
2) Peraturan Menteri Negara Pekerjaan Umum
No.20 /KPTS/2009, tentang Ketentuan Teknis Manajemen Penanggulangan Kebakaran
di Perkotaan.
Dari dua ketentuan tersebut maka
sesungguhnya ketentuan manajemen proteksi kebakaran disusun berdasarkan
paradigma Pengurangan Resiko Bencana pada fase pra bencana, darurat bencana dan
pasca bencana. Khusus mengenai paradigma
Pengurangan Resiko berada pada fase pra bencana dilakukan melalui kegiatan
pencegahan, mitigasi, dan kesiapsiagaan.
Secara implisit fase pra bencana pada
manajemen proteksi kebakaran telah disinggung dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2005 tentang pelaksanaan Undang-Undang Bangunan Gedung yang menyebutkan bahwa: fungsi
proteksi kebakaran pada bangunan gedung diklasifikasikan berdasarkan tingkat kompleksitas, permanensi,
risiko kebakaran, zonasi gempa, lokasi, ketinggian, dan/atau kepemilikan. Klasifikasi
bangunan gedung berdasarkan tingkat risiko kebakaran dibedakan menjadi berisiko
tinggi, sedang, dan rendah. Dalam konteks proteksi kebakaran, risiko terbagi menjadi
dua: yang dapat dikendalikan (controlable risk) dan yang tidak dapat
dikendalikan (uncontrolable risk). Risiko kebakaran sendiri merupakan
risiko murni yang dapat dikendalikan (lihat ciri bencana dan musibah).
Dengan demikian tidak ada alasan lagi bahwa
melalui pendekatan pengendalian resiko kebakaran jelas merupakan domain
bencana, bukan musibah yang sering dianggap oleh sebagian aparatur dan
masyarakat.
V.
Musibah dan Bencana
Sering terdengar kata-kata musibah bila terjadi
kebakaran. Seakan-akan semuanya terjadi karena kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa.
Padahal semua ini bisa dicegah dan diminimalisir. Ironis memang, jangankan
pandangan tersebut sudah mengakar di masyarakat, Undang-Undang
No. 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana secara eksplisit belum
menyebutkan bahwa kebakaran merupakan bagian dari bencana. Bahkan Dalam Rencana
Aksi Nasional Pengurangan Resiko Bencana Tahun 2010-2012, Badan Nasional Penanggulangan Bencana
(BNPB) mengidentifikasi 15 jenis ancaman/bahaya bencana, tanpa kebakaran. Kejadian
kebakaran disebutkan dalam dokumen Rencana Nasional Penanggulangan Bencana
2010-2014 sebagai dampak kegagalan teknologi akibat kesalahan desain,
pengoperasian atau kelalaian manusia dalam menggunakan teknologi. Artinya
terdapat ketidakjelasan dan ketidakkonsistenan dalam penyebutan jenis bencana
dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 maupun dokumen terbitan BNPB tersebut.
Untuk lebih memahami ini berdasarkan definisi
bencana menurut W. Nick Carter dan International
Strategy for Disaster Reduction (UN-ISDR), maka kejadian/peristiwa dapat
disebut bencana harus memenuhi kondisi sebagai berikut :
1.
Ada
peristiwa/kejadian;
2. Terjadi karena faktor alam atau perbuatan
manusia disengaja/tidak disengaja;
3. Terjadi secara mendadak atau tiba-tiba,
namun bisa juga secara perlahan-lahan melalui beberapa tahapan proses/jenjang;
4. Mengakibatkan korban jiwa, materiil,
sosial, budaya, ekonomi, dan kerusakan lingkungan;
5.
Diluar
jangkauan kemampuan dan pengendalian alat/sistem proteksi, masyarakat dan
pemerintah untuk mengendalikan.
Dalam membedakan antara bencana dan musibah dapat dilihat pada kasus kebakaran
di Indonesia sebagai trending topic, seperti kebakaran yang
terjadi di permukiman padat Wonokusumo Jaya RT 13/RW 03
kecamatan Semampir Surabaya pada hari Jum’at
tanggal 14 Februari 2014 dan Redboxx Café Surabaya pada tanggal 26 Juni 2010.
Pertama, terjadinya kebakaran tersebut merupakan
peristiwa. Kedua, terjadinya
kebakaran tersebut akibat perbuatan sengaja dan tidak sengaja oleh manusia. Ketiga, kebakaran terjadi secara
perlahan melalui proses segi tiga api atau pertumbuhan api (penyulutan awal,
pertumbuhan, flash point/titik nyala,
flash over/pembakaran penuh dan
penyurutan). Keempat, terjadinya
kebakaran tersebut bukan ditengah lapangan terbuka atau jauh dari permukiman
tapi dekat dengan permukiman/hunian padat yang berpotensi korban jiwa,
materiil, sosial, budaya, ekonomi, dan kerusakan lingkungan. Kelima, tidak ada unsur diluar jangkauan kemampuan dan pengendalian
alat/sistem proteksi, masyarakat dan pemerintah.
Dari beberapa penjelasan yang ada, maka terjadinya
kebakaran tersebut berakibat korban jiwa materiil, sosial, budaya, ekonomi, dan
kerusakan lingkungan. Juga diperlukan kehandalan alat/sistem proteksi,
masyarakat dan pemerintah. Dengan demikian kebakaran yang terjadi di permukiman padat Wonokusumo Jaya RT 13/RW 03 kecamatan Semampir
Surabaya dan Redboxx Cafe Surabaya adalah
bencana yang bisa dicegah, dikendalikan dan diminimalisir bukan musibah. Boleh jadi dengan
beberapa penjelasan tersebut, UU No. 24/2007 tentang
Penanggulangan Bencana dan peraturan lainnya dinyatakan bertentangan dengan teori dan fakta serta perlu
dikaji ulang secara mendalam. Bukan masanya lagi bahwa
kebakaran sebagai musibah karena sesungguhnya esensinya bencana adalah
rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan
masyarakat. Hal inilah yang menjadikan pertimbangan peneliti untuk mengkaji lebih mendalam mengenai proteksi kebakaran dalam perspektif kebencanaan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku
Dirjenpum
Kemendagri, 2008. Kebijakan
Penanggulangan Bencana di Indonesia,
Jakarta
LPM-ITS, 2003, Laporan Akhir Penyusunan Rencana Manajemen
Penanggulangan Kebakaran, Surabaya
Nurjanah dkk,
2012, Manajemen Bencana, Alfaneta,
Bandung
_______ , 1988, Koordinasi Alat Pemersatu Gerak
Administrasi, Intermedia, Jakarta
Suprapto, 2009, Makalah Kajian Mengenai Koordinasi Instansional Dalam Penanganan
Kebakaran, Pusat Litbang
Permukiman Dep. PU, Bandung
Dokumen-dokumen
Undang-undang Nomor 24
tahun 2007, tentang Kebencanaan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, tentang Pemerintahan Daerah
Undang-undang Nomor 28 Tahun
2002 , tentang Bangunan Gedung
Peraturan Pemerintah Nomor
36 tahun 2005, tentang pelaksanaan
Undang-Undang Bangunan Gedung
Peraturan Menteri Negara Pekerjaan
Umum No.20 /KPTS/2009, tentang Ketentuan
Teknis Manajemen Penanggulangan Kebakaran di Perkotaan
Peraturan Menteri Negara Pekerjaan Umum No 26
Tahun 2008, tentang Persyaratan Teknis
Sistem Proteksi Kebakaran pada Bangunan
dan Lingkungan
Pastikan bergabung kembali di Edisi berikutnya !
Edisi ke – 8
Kunjungi selalu : www.tamtamfire113.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan.. dan jangan membuat spam.. Boleh promosi tapi jangan berkali-kali.. jika melanggar ketentuan tersebut maka komentar anda akan saya hapus selamanya.....