Pages

Blogger news

Senin, 07 September 2015

KEBAKARAN,  MUSIBAH ATAU BENCANA ?

Jurnal Administrasi Kebakaran
Edisi ke -7

Oleh :
Dr. Muchamad Nurtam, M.Si

I.                  PENGANTAR
            Sebelum  era reformasi, kehidupan politik di negeri ini boleh dikatakan lebih bersifat sentralistik. Sekarang makin terbuka dan disadari oleh semua kalangan bahwa terdapat suatu kenis­cayaan bahwa tidak semua urusan negara harus dilakukan oleh negara/pemerintah. Seba­gian harus dilakukan oleh masyarakat sendiri. Yang sebelumnya bersifat top down planning, sekarang bersifat bottom up planning, seperti juga pola penanganan manajemen strategi kebakaran ada yang bersifat top down strategy dan ada juga  b`ottom up strategy. Model perencanaan pembangunan partisipatif telah diadopsi dalam program proteksi kebakaran dalam perspektif kebencanaan. Pentingnya proteksi kebakaran yang memadukan pendekatan kebencanaan, diharapkan dapat mengantisipasi kebakaran yang mengancam kehidupan masyarakat. Jika selama ini pendekatan penanganan ben­cana kebakaran lebih bersifat penanganan darurat (pemadaman kebakaran), maka di masa men­­datang penanganan ben­ca­na kebakaran haruslah bersifat antisi­pa­tif yang berbasis mitigasi dan pengurangan resiko.
            Penanganan kebakaran berbasis miti­gasi akan memperkuat lagi sistem miti­gasi kebencanaan berbasis pengetahuan mengu­rangi resiko, antisipasi bencana kebakaran serta penanganan darurat yang selama ini sudah berjalan. Namun fakta empiris berbicara lain, masyarakat atau bahkan pemerintah pun memandang bahwa kebakaran merupakan musibah yang dialami masyarakat. Kebakaran semata-mata ujian dan peringatan keras yang diberikan oleh Tuhan kepada hambahnya sebagai instrumen/alat uji tingkat keimanan dan ketaqwaan. Benarkah demikian ? apakah kebakaran itu musibah atau bencana ?

II.                Status Bencana Kebakaran
Bencana kebakaran sangat beda dengan bencana umum yang lain seperti gempa bumi, gunung meletus, sunami, banjir yang bisa diprediksi dan mempunyai status waspada, siaga, awas. Tetapi Bencana kebakaran tidak bisa diprediksi dan tidak mempunyai status waspada, siaga, namun langsung AWAS. Pada bencana selain kebakaran, kemajuan teknologi yang ada biasanya bisa didahului dengan datangnya peringatan dini . Hal ini menjadi sangat memungkinkan untuk dapat menekan timbulnya kerugian dan korban jiwa yang lebih besar. Tidak demikian halnya dengan bencana kebakaran, proses datangnya selalu sulit diprediksi. Kapan datangnya, apa penyebabnya, tingkat cakupanya serta seberapa besar dampak yang ditimbulkanya, adalah hal-hal yang tidak bisa diperkirakan oleh kemampuan manusia.
Dalam uji coba yang dilakukan oleh National Fire Protection Association (NFPA), dihasilkan bahwa pertumbuhan api sejak penyulutan awal sampai dengan pembakaran penuh diperlukan waktu hanya dua menit. Sedangkan peningkatan suhu panas berbanding lurus dengan waktu. Setiap satu menit menghasilkan panas 100 derajat, dua menit 200 derajat, tiga menit 300 derajat dan seterusnya berbanding lurus dengan waktu sampai dilakukannya upaya pemadaman. Senyawa antara bahan dengan udara dalam panas tertentu  yang produknya dapat diihat dan dirasakan seperti adanya cahaya dan panas serta meninggalkan asap dan arang. Dari uji coba tersebut maka terlihat deferensial yang mencolok antara bencana umum dengan bencana kebakaran, teknologi yang ada hanya dapat membantu memberi peringatan dini, tetapi mempunyai kemampuan yang sangat terbatas untuk memberi waktu persiapan dan pertolongan dalam menghadapi ancamannya, karena peringatan hanya dapat diberikan pada saat kebakaran atau api dalam kondisi sedang berlangsung. Apalagi tingkat kerentanan dan bahaya asap yang dihasilkan dari kebakaran tersebut bisa menghasilkan gas racun yang paling ditakuti oleh anggota PMK. Hampir semua korban jiwa bencana kebakaran itu karena menghirup asap, sehingga tidak ada status lain yang pantas disandang kecuali AWAS yang selalu menghantui siapapun. Oleh karena itu cara yang paling efektif dalam menghadapi terjadinya bencana kebakaran adalah dengan mencegah, mengeliminasi, dan meminimasi dampak terjadinya bencana kebakaran melalui eksekusi manajemen proteksi kebakaran di perkotaan.

III.             Paradigma Bencana Kebakaran
Bencana alam yang bersifat meteorologis seperti banjir dan kekeringan merupakan bencana alam yang paling banyak terjadi di Surabaya. Kekhawatiran terbesar pada abad sekarang ini adalah bencana kebakaran yang disebabkan oleh pemanasan global, kekeringan, pembalakan liar dan permukiman serta gedung yang tidak memenuhi persyaratan keamanan kebakaran. Teknologi dan informasi semakin berkembang membawa perubahan cara pandang khusus untuk melakukan upaya-upaya penanganan  kebakaran melalui perspektif kebencanaan sebagai pemikiran dan pendekatan baru dalam mengatasi intensitas kebakaran yang semakin tahun semakin meningkat. Oleh karena itu penting kiranya pada bagian ini akan diuraikan paradigma cara/tindakan untuk menanggulangi bencana kebakaran sebagai berikut :
1.      Paradigma Bantuan Darurat
Paradigma ini memandang bahwa kebakaran itu musibah sehingga masyarakat dipandang sebagai korban dan penerima bantuan. Paradigma ini menfokuskan diri pada penanganan darurat kebakaran, melalui pemberian santunan, evakuasi pertolongan korban, penampungan dan pelayanan kesehatan.
2.      Paradigma Mitigasi
Paradigma ini memandang bahwa kebakaran itu bisa dicegah dan minimalisir. Daerah rawan terhadap ancaman kebakaran merupakan obyek yang harus dibudayakan dalam penanganan pra kebakaran. Tujuan utama mitigasi adalah pembuatan struktur bangunan, relokasi permukiman, peraturan bangunan dan panataan ruang. Kesemuanya ini masuk dalam  manajemen proteksi kebakaran;
3.      Paradigma Pembangunan
Paradigma ini memfokuskan pada faktor penyebab dan proses terjadinya kerentanan masyarakat terhadap bencana;
4.       Paradigma Pengurangan Resiko
Seperti halnya pada paradigma mitigasi, paradigma ini memandang bahwa kebakaran itu bisa dicegah dan minimalisir. Analisis resiko bencana kebakaran sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan dalam mengelola dan mengurangi resiko terjadinya bencana kebakaran yang dilakukan oleh semua stakeholder melalui pemberdayaan masyarakat (Trilogy Synergy).
Dari keempat paradigma tersebut akan membawa implikasi pada aspek manajemen proteksi kebakaran di kota Surabaya. Aspek pencegahan bersumber dari aksioma mitigasi, pembangunan dan pengurangan Resiko. Sedangkan aspek penanggulangan kebakaran bersumber dari aksioma bantuan darurat.
Dari sinilah  semakin jelas bahwa kebakaran merupakan domain dari bencana, termasuk juga letusan gunung berapi, gempa bumi, sunami, banjir, dan kekeringan. Sehingga lahirlah beberapa pentahapan penanganan kebakaran seperti :
tahap pra kebakaran dengan substansinya yang tersusun sebagai berikut  :
a.       Pencegahan umum bahaya kebakaran;
b.      Mapping daerah rawan dan identitifikasi pengurangan resiko kebakaran;
c.       Proses izin HO dan IMB;
d.      Pembinaan partisipasi masyarakat;
e.       Kontrol produk berpotensi bahaya kebakaran;
f.       Pembangunan infrastruktur pendukung operasi pemadaman;
g.      Pendeteksian kebakaran.

Kemudian pada saat kejadian kebakaran melalui :
a.       Pencapaian di lokasi kebakaran tidak lebih dari 15 menit;
b.      Komunikasi kejadian kebakaran;
c.       Tindakan operasional pemadaman kebakaran;
d.      Tindakan penyelamatan (rescue) akibat kebakaran / bencana umum lainnya;
e.       Sistem pelaporan kejadian kebakaran.

Lalu pada tahap pasca kejadian kebakaran melalui :
a.       Mitigasi/pemeriksaan pasca kebakaran;
b.      Mobilisasi pertolongan korban kebakaran & bencana lain;
c.       Penyelidikan sebab-sebab kejadian kebakaran;
d.      Penyusunan data & statistik kebakaran.

Sebagaimana diketahui SOP merupakan pedoman untuk melaksanakan tugas pekerjaan sesuai  dengan fungsi dan alat ukur kinerja pemerintah berdasarkan indicator administrasi dan prosedur apakah sesuai dengan tata kerja dan sistem kerja pada setiap SKPD, tujuannya adalah menciptakan keselarasan, sinergi, dan komitmen tentang apa yang patut dikerjakan.
Untuk mendorong pelayanan kebakaran yang lebih efektif, efisien dan akuntabel,  Dinas Kebakaran kota Surabaya harus mulai  mencanangkan penerapan prinsip-prinsip penyelenggaraan tata kelola operasional kebakaran yang baik dan bersih (good governance and clean government) melalui penerapan reformasi pelayanan birokrasi, yang secara umum ditujukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat. Secara operasional wujud peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat adalah  penyempurnaan SOP sebagai proses keterlibatan  SKPD dalam menyelenggarakan  administrasi  kebakaran sehingga lebih mencerminkan birokrasi yang mampu menjalankan fungsi pelayanan kebakaran yang sinergi, berkualitas, memuaskan, transparansi, dan dapat dipertanggungjawabkan.

IV.             Hubungan Bencana  Umum dengan Bencana Kebakaran
Jauh sebelum terjadinya bencana gempa bumi dan tsunami pada 26 Desember 2004 di Bumi Serambi Mekkah Nanggroe Aceh Darussalam yang akhirnya membidani lahirnya Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana, manajemen proteksi kebakaran sudah dirumuskan dengan menggunakan paradigma bencana melalui Undang-undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung dan Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2005 tentang pelaksanaan Undang-Undang Bangunan Gedung.
Salah satu dalam pasal 17 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2002 disebutkan bahwa : Bangunan gedung selain rumah tinggal harus dilengkapi dengan sistem proteksi pasif dan aktif. Sistem proteksi kebakaran pasif dibentuk melalui pengaturan penggunaan bahan dan komponen struktur bangunan, kompartemenisasi atau pemisahan bangunan berdasarkan tingkat ketahanan terhadap api, serta perlindungan terhadap bukaan. Sementara sistem proteksi kebakaran aktif terdiri dari sistem pendeteksian kebakaran manual/otomatis, sistem pemadam kebakaran berbasis air (springkler, pipa tegak, slang kebakaran), serta Pemadam Api Ringan (APAR). Lebih lanjut dalam ketentuan ini disebutkan pula bahwa setiap bangunan gedung dengan ketinggian di atas lima lantai harus menyediakan sarana hubungan vertikal berupa lift dan lift kebakaran. Lift kebakaran dapat berupa lift khusus kebakaran atau lift penumpang biasa atau lift barang yang dapat diatur pengoperasiannya sehingga dalam keadaan darurat dapat digunakan secara  khusus oleh petugas pemadam kebakaran.
Kemudian setiap bangunan gedung juga harus menyediakan sarana evakuasi berupa sistem peringatan bahaya bagi pengguna, pintu keluar darurat, dan jalur evakuasi yang dapat menjamin kemudahan pengguna apabila terjadi bencana atau keadaan darurat. Penyediaan sarana evakuasi disesuaikan dengan fungsi dan klasifikasi bangunan gedung, jumlah dan kondisi pengguna bangunan gedung, serta jarak pencapaian ke tempat yang aman. Sarana pintu keluar darurat dan jalur evakuasi harus dilengkapi dengan tanda arah yang mudah dibaca dan jelas. Setiap bangunan gedung harus memiliki manajemen penanggulangan bencana. Untuk memperkuat dan menyempurnakan ketentuan ini, maka ketentuan manajemen proteksi kebakaran dirumuskan dengan  menggunakan pendekatan bencana umum,  yaitu:
1)      Peraturan Menteri Negara Pekerjaan Umum No 26 Tahun 2008 tentang
PersyaratanTeknis Sistem Proteksi  Kebakaran pada Bangunan dan Lingkungan;
2)      Peraturan Menteri Negara Pekerjaan Umum No.20 /KPTS/2009, tentang Ketentuan Teknis Manajemen Penanggulangan Kebakaran di Perkotaan.
Dari dua ketentuan tersebut maka sesungguhnya ketentuan manajemen proteksi kebakaran disusun berdasarkan paradigma Pengurangan Resiko Bencana pada fase pra bencana, darurat bencana dan pasca bencana.  Khusus mengenai paradigma Pengurangan Resiko berada pada fase pra bencana dilakukan melalui kegiatan pencegahan, mitigasi, dan kesiapsiagaan.
Secara implisit fase pra bencana pada manajemen proteksi kebakaran telah disinggung dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2005 tentang pelaksanaan Undang-Undang Bangunan Gedung yang menyebutkan bahwa: fungsi proteksi kebakaran pada bangunan gedung diklasifikasikan berdasarkan tingkat kompleksitas, permanensi, risiko kebakaran, zonasi gempa, lokasi, ketinggian, dan/atau kepemilikan. Klasifikasi bangunan gedung berdasarkan tingkat risiko kebakaran dibedakan menjadi berisiko tinggi, sedang, dan rendah. Dalam konteks proteksi kebakaran, risiko terbagi menjadi dua: yang dapat dikendalikan (controlable risk) dan yang tidak dapat dikendalikan (uncontrolable risk). Risiko kebakaran sendiri merupakan risiko murni yang dapat dikendalikan (lihat ciri bencana dan musibah).
Dengan demikian tidak ada alasan lagi bahwa melalui pendekatan pengendalian resiko kebakaran jelas merupakan domain bencana, bukan musibah yang sering dianggap oleh sebagian aparatur dan masyarakat.

V.                Musibah dan Bencana
Sering terdengar kata-kata musibah bila terjadi kebakaran. Seakan-akan semuanya terjadi karena kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa. Padahal semua ini bisa dicegah dan diminimalisir. Ironis memang, jangankan pandangan tersebut sudah mengakar di masyarakat, Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana secara eksplisit belum menyebutkan bahwa kebakaran merupakan bagian dari bencana. Bahkan Dalam Rencana Aksi Nasional Pengurangan Resiko Bencana Tahun 2010-2012, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengidentifikasi 15 jenis ancaman/bahaya bencana, tanpa kebakaran. Kejadian kebakaran disebutkan dalam dokumen Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2010-2014 sebagai dampak kegagalan teknologi akibat kesalahan desain, pengoperasian atau kelalaian manusia dalam menggunakan teknologi. Artinya terdapat ketidakjelasan dan ketidakkonsistenan dalam penyebutan jenis bencana dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 maupun dokumen terbitan BNPB tersebut.
Untuk lebih memahami ini berdasarkan definisi bencana menurut W. Nick Carter dan International Strategy for Disaster Reduction (UN-ISDR), maka kejadian/peristiwa dapat disebut bencana harus memenuhi kondisi sebagai berikut :
1.      Ada peristiwa/kejadian;
2.      Terjadi karena faktor alam atau perbuatan manusia disengaja/tidak disengaja;
3.      Terjadi secara mendadak atau tiba-tiba, namun bisa juga secara perlahan-lahan melalui beberapa tahapan proses/jenjang;
4.      Mengakibatkan korban jiwa, materiil, sosial, budaya, ekonomi, dan kerusakan lingkungan;
5.      Diluar jangkauan kemampuan dan pengendalian alat/sistem proteksi, masyarakat dan pemerintah untuk mengendalikan.
Dalam membedakan antara bencana dan musibah dapat dilihat pada kasus kebakaran di Indonesia  sebagai trending topic, seperti kebakaran yang terjadi di permukiman padat Wonokusumo Jaya RT 13/RW 03 kecamatan Semampir Surabaya pada hari Jum’at  tanggal 14 Februari  2014 dan Redboxx Café Surabaya pada tanggal 26 Juni 2010.
Pertama, terjadinya kebakaran tersebut merupakan peristiwa. Kedua, terjadinya kebakaran tersebut akibat perbuatan sengaja dan tidak sengaja oleh manusia. Ketiga, kebakaran terjadi secara perlahan melalui proses segi tiga api atau pertumbuhan api (penyulutan awal, pertumbuhan, flash point/titik nyala, flash over/pembakaran penuh dan penyurutan). Keempat, terjadinya kebakaran tersebut bukan ditengah lapangan terbuka atau jauh dari permukiman tapi dekat dengan permukiman/hunian padat yang berpotensi korban jiwa, materiil, sosial, budaya, ekonomi, dan kerusakan lingkungan. Kelima, tidak ada unsur  diluar jangkauan kemampuan dan pengendalian alat/sistem proteksi, masyarakat dan pemerintah.
Dari beberapa penjelasan yang ada, maka terjadinya kebakaran tersebut berakibat korban jiwa materiil, sosial, budaya, ekonomi, dan kerusakan lingkungan. Juga diperlukan kehandalan alat/sistem proteksi, masyarakat dan pemerintah. Dengan demikian kebakaran yang terjadi di permukiman padat Wonokusumo Jaya RT 13/RW 03 kecamatan Semampir Surabaya dan Redboxx Cafe Surabaya adalah bencana yang bisa dicegah, dikendalikan dan diminimalisir bukan musibah. Boleh jadi dengan beberapa penjelasan tersebut, UU No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana dan peraturan lainnya dinyatakan bertentangan dengan teori dan fakta serta perlu dikaji ulang secara mendalam. Bukan masanya lagi bahwa kebakaran sebagai musibah karena sesungguhnya esensinya bencana adalah rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat. Hal inilah yang menjadikan pertimbangan peneliti untuk mengkaji lebih mendalam mengenai proteksi kebakaran dalam perspektif kebencanaan.




DAFTAR PUSTAKA



Buku-buku
Dirjenpum Kemendagri, 2008. Kebijakan Penanggulangan Bencana di Indonesia,
                 Jakarta
LPM-ITS, 2003, Laporan Akhir Penyusunan Rencana Manajemen Penanggulangan Kebakaran, Surabaya
Nurjanah dkk, 2012, Manajemen Bencana, Alfaneta, Bandung
_______ , 1988, Koordinasi Alat Pemersatu Gerak Administrasi, Intermedia, Jakarta
Suprapto, 2009, Makalah Kajian Mengenai Koordinasi Instansional Dalam Penanganan Kebakaran, Pusat Litbang Permukiman Dep. PU, Bandung

Dokumen-dokumen
Undang-undang Nomor 24 tahun 2007,  tentang Kebencanaan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014tentang Pemerintahan Daerah
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2002 , tentang Bangunan Gedung
Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2005, tentang pelaksanaan Undang-Undang Bangunan Gedung
Peraturan Menteri Negara Pekerjaan Umum No.20 /KPTS/2009, tentang Ketentuan Teknis Manajemen Penanggulangan Kebakaran di Perkotaan
Peraturan Menteri Negara Pekerjaan Umum No 26 Tahun 2008, tentang Persyaratan Teknis Sistem Proteksi  Kebakaran pada Bangunan dan Lingkungan



Pastikan bergabung kembali di Edisi berikutnya !
Edisi ke – 8


Kunjungi selalu : www.tamtamfire113.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan sopan.. dan jangan membuat spam.. Boleh promosi tapi jangan berkali-kali.. jika melanggar ketentuan tersebut maka komentar anda akan saya hapus selamanya.....

 

SEARCH

Most Reading