Pages

Blogger news

PENGUATAN SINERGITAS PEMERINTAH, MASYARAKAT DAN DUNIA USAHA DALAM PENANGANAN DARURAT BENCANA KEBAKARAN

Senin, 07 September 2015

PENGUATAN SINERGITAS
PEMERINTAH, MASYARAKAT DAN DUNIA USAHA
DALAM PENANGANAN DARURAT BENCANA KEBAKARAN
STRENGTHENING SYNERGY
GOVERNMENT, COMMUNITY AND BUSINESS
HANDLING IN FIRE EMERGENCY DISASTER


Jurnal Administrasi Kebakaran
Edisi ke -9

Oleh :
Dr. MUCHAMAD NURTAM, M.Si


I.                   PENGANTAR
Bencana Kebakaran dapat terjadi dimana saja, kapan saja tanpa mengenal waktu dan kondisi apapun baik musim kemarau maupun musim hujan, bahkan kebakaran yang besar pada umumnya terjadi dikawasan perindustrian maupun permukiman yang padat dan sebagian besar hanya mempunyai akses jalan sempit, yang tidak mungkin unit mobil PMK memasuki areal kebakaran. Belum lagi kondisi lingkungan yang tidak tersedia sumber air yang memadai dan kemacetan lalu lintas, semakin membuat masyarakat dan dunia usaha menuntut pelayanan yang baik.
  Perkembangan akhir-akhir ini menunjukkan bahwa di era reformasi, masyarakat semakin berani untuk mengajukan tuntutan, keinginan dan aspirasinya kepada Pemerintah. Masyarakat semakin kritis  untuk melakukan kontrol terhadap apa  yang  menjadi tugas pokok  Institusi Pemadam Kebakaran (IPK). Namun perlu disadari bahwa tugas pelayanan kebakaran bukan semata-mata merupakan tugas IPK akan tetapi merupakan tanggung jawab bersama antara IPK, masyarakat dan dunia usaha. Peran serta masyarakat dan dunia usaha diperlukan dalam bentuk partisipasi untuk siaga melakukan tindakan awal darurat bencana kebakaran sambil menunggu unit mobil PMK datang. Hubungan antara IPK dengan masyarakat dan dunia usaha perlu dipupuk secara berkala malalui kegiatan penyuluhan, pertemuan forum diskusi, simposium, musrenbang dan simulasi kebakaran.
Dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 20 Tahun 2009 tentang Pedoman Teknis Manajemen Proteksi  Kebakaran di Perkotaan, dijelaskan bahwa peran serta masyarakat dan dunia usaha diberikan wadah sebagai Satuan Relawan Kebakaran (Satlakar). Satlakar merupakan wadah partisipasi masyarakat dan dunia usaha dalam rangka menangani darurat bencana kebakaran dan bagian dari pelayanan pemadaman kebakaran pada lingkungan padat hunian, rumah susun, pasar, industri, bangunan mal dan bangunan lain milik dunia usaha. Fungsi utama Satlakar adalah memberikan informasi  kebakaran kepada IPK dan melakukan pemadaman dini sebelum unit PMK datang ke lokasi kebakaran. Satlakar juga dibentuk dari masyarakat profesi dan forum komunikasi. Masyarakat profesi terdiri dari orang perorangan dan atau badan yang mempunyai profesi terkait dengan manajemen proteksi kebakaran. Sedangkan Forum Komunikasi merupakan gabungan dari asosiasi profesi dan tokoh masyarakat. Masing-masing mempunyai peranan  penting dalam  membantu Dinas Kebakaran.
Sejalan dengan peran serta masyarakat dan dunia usaha, maka Penguatan Sinergitas juga harus menjadi perhatian serius. Keterlibatan antar instansi, masyarakat dan dunia usaha adalah untuk menjamin efektivitas penanganan darurat bencana kebakaran yang sinergis dan mendukung akuntabilitas pelayanan kebakaran. Untuk memperkuat kondisi ini Institusi Pemadam Kebakaran (IPK) harus menciptakan instrumen Penguatan Sinergitas antara Pemerintah, Masyarakat dan Dunia Usaha sebagai patner dalam menangani  darurat bencana kebakaran. Mengapa sinergitas itu penting bagi penanganan darurat bencana kebakaran? Seperti apa konsep dan model sinergitas manajemen proteksi kebakaran?

II.       KAJIAN TEORI

2
2.1  
       Sinergitas
Sinergi itu kata yang mudah diucapkan tapi sulit diterapkan. Sering terdengar kata-kata Sinergi yang keluar sengaja atau tidak sengaja dalam diskusi  kelompok, rapat koordinasi atau pertemuan lain yang bersifat formal seperti Training and Motivation, Coaching and Counseling, Reinforcement.  Para pimpinan structural dalam organisasi public sering melontarkan kata “SINERGI” (Synergy). “Semua harus sinergi kalau ingin mencapai tujuan”, “Kalau tidak sinergi bagaimana bisa menerapkan strategi”.  Itulah beberapa statement mengenai Sinergi yang terdengar dalam setiap rapat koordinasi.
Sinergi adalah bentuk Kerjasama Win-win solution yang dihasilkan melalui kolaborasi masing-masing pihak tanpa adanya perasaan kalah.  Menurut Stephen Covey dalam bukunya 7 Habits of Highly Effective People, jika 1 + 1 = 3, maka itulah yang disebut “Synergy”.  Sinergi adalah saling mengisi dan melengkapi perbedaan untuk mencapai hasil lebih besar daripada jumlah bagian per bagian. Lebih lanjut menurut Hampden-Turner (1990) menyatakan bahwa aktivitas sinergi merupakan suatu proses yang melibatkan berbagai aktivitas, yang berjalan bersama sehingga menciptakan sesuatu yang baru. Sinergi merupakan hasil dari suatu relasi dialogik antara berbagai sumber pengetahuan yang berbeda, dan merupakan suatu proses yang mengakumulasikan berbagai macam pengetahuan. Kemudian Hartanto (1996) menyatakan sinergi adalah suatu gagasan baru, yang terbentuk dari berbagai macam gagasan yang diajukan oleh banyak pihak hingga menghasilkan suatu gagasan baru, yang dilandasi oleh pola pikir atau konsep yang baru. Dalam setiap kelompok kerja dalam organisasi, kualitas sinergi yang merupakan sinergi efektif pada hakekatnya adalah hasil dari suatu proses perpaduan dari cara-cara bagaimana mengatasi masalah dan perpaduan gagasan yang dijalankan oleh pihak-pihak yang saling percaya dan bersikap saling mendukung menghasilkan suatu gagasan baru yang benar-benar memberikan kepuasan secara intrinsik bagi semua belah pihak. Timbulnya gagasan baru dan kepuasan yang mengikutinya tidak akan dapat diperoleh tanpa kerjasama efektif dari semua pihak.
Pengertian kualitas sinergi sebagai kualitas hasil kerjasama yang kritikal adalah senada dengan kualitas kerjasama dalam proses kolaboratif seperti yang diutarakan oleh Gray (1996), dan seperti diutarakan oleh Bennis & Biederman (1997) sebagai creative collaboration, yang menggambarkan kerjasama yang dapat menghasilkan lebih dari apa yang diperkirakan oleh siapapun. Sesungguhnya teori sinergi (synergy) mengacu pada gaya manajemen sinergik dalam organisasi yaitu senantiasa menciptakan harmonis (Salusu, 2004).
Oleh karena itu dapat dijelaskan bahwa landasan teori penguatan sinergi dalam penanganan darurat bencana kebakaran mengacu pada konsep “togetherness, creating and sustaining performance”, sedangkan prinsip yang dikembangkan mengacu pada prinsip dasar kompetisi yang bertumpu pada perkembangan lingkungan strategis.  Dalam istilah manajemen, sinergi diartikan bersaing dengan lebih baik dari yang diharapkan untuk meraih kebersamaan (togetherness). Dengan demikian, maka secara langsung sinergi atau kemitraan kerja antara pemerintah, masyarakat dan dunia usaha  akan tumbuh menjadi wadah sinergi yang efisien; berkualitas; fleksibel dan inovatif. Oleh sebab itu, wadah sinergi sebagai ciri kerjasama kemitraan harus senantiasa dikembangkan secara dinamis sesuai dengan konsep “learning organization” mengikuti trend atau perkembangan lingkungan strategis (Senge,1996).
Silower (1998) dalam buku ”Synergy Trap” mengemukakan dasar-dasar sinergi yang terdiri dari visi strategis, strategi budaya, kekuasaan dan budaya, integrasi sistem dan investasi awal untuk memperoleh imbalan sebagai premium. Keempat komponen itu mewakili unsur-unsur utama dari suatu strategi kerjasama atau kemitraan yang harus berada pada posisinya. Dalam hal ini, komponen sinergi yang dimaksud dikelompokkan menjadi antar Pemerintah, masyarakat dan dunia usaha.  Pada konteks keterkaitan masing-masing dasar sinergi, berlaku bahwa jika salah satu dari keempat dasar ini tidak ada pada saat kesepakatan kerjasama dilakukan, maka sinergipun akan menjadi ”perangkap”, premium kemungkinan mewakili kerugian total bagi komponen sinergi. Walaupun demikian, berkenaan dengan kondisi-kondisi persaingan ini, dasar-dasar sinergi ini perlu diterapkan tetapi bukan satu-satunya ”komponen yang menentukan” untuk menjamin perncapaian tujuan.
Dari beberapa pengertian sinergi tersebut dapat diketahui orientasi konsep ber-sinergi diantaranya adalah berikut ini:
Ø  Berorientasi pada hasil dan positif;
Ø  Perspektif beragam mengganti atau melengkapi paradigm kebersamaan;
Ø  Saling bekerjasama dan bertujuan yang sama.
Melalui sinergi, kerjasama dari paradigma yang berbeda akan mewujudkan hasil lebih besar dan efektif sehubungan proses yang dijalani menunjukkan tujuan yang sama.  Bersinergi berarti saling menghargai perbedaan ide, pendapat dan bersedia saling berbagi.  Bersinergi tidak mementingkan diri sendiri, namun berpikir menang-menang dan tidak ada pihak yang dirugikan atau merasa dirugikan.  Bersinergi bertujuan memadukan bagian-bagian yang terpisah. Namun demikian bersinergi tidak selamanya berjalan baik, sebab pada konteks administrasi public salah satu masalah dalam sinergi  menurut (LAN 2011), tercermin dari koodinasi yang lemah secara vertikal karena gubernur, bupati serta wali kota tidak lagi ditentukan dari pusat. Melalui proses demokrasi, rakyat pemilihlah yang menentukan. Mereka yang menduduki jabatan presiden, gubernur, bupati dan wali kota bisa berasal dari partai yang berbeda.
2
2.2 
      Koordinasi

Pengertian Koordinasi berasal dari kata bahasa Inggris coordination yang berarti being co-ordinate, yaitu adanya koordinat yang bersamaan dari dua garis dalam bidang datar, yang dapat diartikan bahwa dua garis yang berpotongan pada koordinat tertentu. Sebagaimana pengertian sinergi, koordinasi itu juga kata yang mudah diucapkan tapi sulit diterapkan. Oleh karena itu dari pengertian sinergi dan koordinasi, kiranya dapat dijelaskan bahwa bagian-bagian atau kegiatan-kegiatan yang secara koperatif berinteraksi, bermakna integrasi, sedangkan produktif bermakna efektif dan efisien. Dengan demikian sinergi memberi makna atau arti yang relatif dianggap sama dengan koordinasi. (Stoner dan Wankel, 1992), dengan gambar sebagai berikut :





Jadi tidak salah apabila koordinasi = sinergi. Namun demikian pengertian koordinasi jauh mempunyai makna yang luas.  Pengertian administrasi dalam kaitan dengan koordinasi adalah seluruh proses kegiatan penetapan dan pencapaian tujuan dengan menggunakan sumber-sumbernya yang tersedia secara efisien, bersama-sama dan melalui orang-orang yang terkoordinasi dengan menerapkan PEOPLE (planing, executing, organising, persuading, leading, evaluating). Hubungan koordinasi dengan sistem fungsi administrasi dapat digambarkan dan dijelaskan bahwa sebagai tugas utama atau inti kegiatan administrator adalah menetapkan tujuan. Setelah itu mengkoordinasikan seluruh potensi organisasinya melalui fungsi-fungsi lainnya, dengan melakukan komunikasi, penelitian, dan melakukan pendekatan kemanusiaan (Sugandha,  1991). Sedangkan posisi fungsi koordinasi dalam proses manejemen menurut George R. Terry terdapat pada posisi perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, dan pengawasan (Sarwoto, 1991). Jadi setiap fungsi pokok manajemen yaitu perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, dan pengawasan selalu harus dilakukan koordinasi sehinga pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut dapat terselenggara secara terarah dan terpadu serta menjamin tercapainya tujuan organisasi yang telah ditentukan.
Kemudian pendapat lain dikemukakan oleh Koontz dalam Handoko (1997) yang mengemukakan bahwa koordinasi adalah inti manajemen, yang bertujuan untuk mewujudkan keharmonisan upaya berbagai individu kearah tercapainya tujuan kelompok. Di dalam administrasi, koordinasi bersangkutpaut dengan penyerasian serta penyatuan tindakan dari sekelompok orang (William H. Newman). Koordinasi adalah penyerasian yang teratur usaha-usaha untuk menyiapkan jumlah yang cocok menurut mestinya, waktu dan pengarahan pelaksanaan hingga menghasilkan tindakan-tindakan harmonis dan terpadu menuju sasaran yang telah ditentukan. (george R. Terry). Koordinasi adalah proses pemaduan sasaran dan kegiatan dari unit-unit kerja yang terpisah untuk dapat mencapai tujuan organisasi secara efektif. (James AF Stoner). Di dalam administrasi, koordinasi bersangkutpaut dengan penyerasian serta penyatuan tindakan dari sekelompok orang (William H. Newman). Koordinasi adalah proses pemaduan sasaran dan kegiatan dari unit-unit kerja yang terpisah untuk dapat mencapai tujuan organisasi secara efektif. (James AF Stoner).
Lebih lanjut menurut G.R. Terry koordinasi adalah suatu usaha yang sinkron dan teratur untuk menyediakan jumlah dan waktu yang tepat, dan mengarahkan pelaksanaan untuk menghasilkan suatu tindakan yang seragam dan harmonis pada sasaran yang telah ditentukan. Sedangkan menurut E.F.L. Brech, koordinasi adalah mengimbangi dan menggerakkan tim dengan memberikan lokasi kegiatan pekerjaan yang cocok dengan masing-masing dan menjaga agar kegiatan itu dilaksanakan dengan keselarasan yang semestinya di antara para anggota itu sendiri (Hasibuan, 2007:85). Menurut E. F. L. Brech dalam bukunya, The Principle and Practice of Management : Koordinasi adalah mengimbangi dan menggerakkan tim dengan memberikan lokasi
kegiatan pekerjaan yang cocok kepada masing-masing dan menjaga agar kegiatan itu
dilaksanakan dengan keselarasan yang semestinya di antara para anggota itu sendiri. Kemudian menurut Mc. Farland (Handayaningrat, 1985:89) koordinasi adalah suatu proses di mana pimpinan mengembangkan pola usaha kelompok secara teratur di antara bawahannya dan menjamin kesatuan tindakan di dalam mencapai tujuan bersama. Sementara itu, Handoko (2003:195) mendefinisikan koordinasi (coordination) sebagai proses pengintegrasian tujuan-tujuan dan kegiatan-kegiatan pada satuan-satuan yang terpisah (departemen atau bidang-bidang fungsional) suatu organisasi untuk mencapai tujuan organisasi secara efisien. Menurut Handoko (2003:196) kebutuhan akan koordinasi tergantung pada sifat dan kebutuhan komunikasi dalam pelaksanaan tugas dan derajat saling ketergantungan bermacam-macam satuan pelaksananya. Hal ini juga ditegaskan oleh Handayaningrat (1985:88) bahwa koordinasi dan komunikasi adalah sesuatu hal yang tidak dapat dipisahkan. Selain itu, Handayaningrat juga mengatakan bahwa koordinasi dan kepemimpinan (leadership) adalah tidak bisa dipisahkan satu sama lain, karena satu sama lain saling mempengaruhi.
2.2.1    Masalah  dalam Koordinasi
Peningkatan spesialisasi akan menaikkan kebutuhan akan koordinasi. Tetapi semakin besar derajat spesialisasi, semakin sulit bagi manajer untuk mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan khusus dari satuan-satuan yang berbeda. Paul R. Lawrence dan Jay W. Lorch (Handoko, 2003:197) mengungkapkan 4 (empat) tipe perbedaan dalam sikap dan cara kerja yang mempersulit tugas pengkoordinasian, yaitu:
  1. Perbedaan dalam orientasi terhadap tujuan tertentu. Para anggota dari departemen yang berbeda mengembangkan pandangan mereka sendiri tentang bagaimana cara mencapai kepentingan organisasi yang baik. Misalnya bagian penjualan menganggap bahwa diversifikasi produk harus lebih diutamakan daripada kualtias produk. Bagian akuntansi melihat pengendalian biaya sebagai faktor paling penting sukses organisasi;
  2. Perbedaan dalam orientasi waktu.Manajer produksi akan lebih memperhatikan masalah-masalah yang harus dipecahkan segera atau dalam periode waktu pendek. Biasanya bagian penelitian dan pengembangan lebih terlibat dengan masalah-masalah jangka panjang;
  3. Perbedaan dalam orientasi antar-pribadi, Kegiatan produksi memerlukan komunikasi dan pembuatan keputusan yang cepat agar prosesnya lancar, sedang bagian penelitian dan pengembangan mungkin dapat lebih santai dan setiap orang dapat mengemukakan pendapat serta berdiskusi satu dengan yang lain;
  4. Perbedaan dalam formalitas struktur. Setiap tipe satuan dalam organisasi mungkin mempunyai metode-metode dan standar yang berbeda untuk mengevaluasi program terhadap tujuan dan untuk balas jasa bagi karyawan.
2.2.2   Tipe-Tipe Koordinasi
Menurut Hasibuan (2007:86-87) terdapat 2 (dua) tipe koordinasi, yaitu:
  1. Koordinasi vertikal adalah kegiatan-kegiatan penyatuan, pengarahan yang dilakukan oleh atasan terhadap kegiatan unit-unti, kesatuan-kesatuan kerja yang ada di bawah wewenang dan tanggungjawabnya;
  2. Koordinasi horisontal adalah mengkoordinasikan tindakan-tindakan atau kegiatan-kegiatan penyatuan, pengarahan yang dilakukan terhadap kegiatan-kegiatan penyatuan, pengarahan yang dilakukan terhadap kegiatan-kegiatan dalam tingkat organisasi (aparat) yang setingkat.
2.2.3    Sifat-Sifat Koordinasi
Menurut Hasibuan (2007:87) terdapat 3 (tiga) sifat koordinasi, yaitu:
  1. Koordinasi adalah dinamis bukan statis;
  2. Koordinasi menekankan pandangan menyeluruh oleh seorang koordinator (manajer) dalam rangka mencapai sasaran;
  3. Koordinasi hanya meninjau suatu pekerjaan secara keseluruhan.
Asas koordinasi adalah asas skala (hirarki) artinya koordinasi itu dilakukan menurut jenjang-jenjang kekuasaan dan tanggungjawab yang disesuaikan dengan jenjang-jenjang yang berbeda-beda satu sama lain. Tegasnya, asas hirarki ini bahwa setiap atasan (koordinator) harus mengkoordinasikan bawahan langsungnya.
2.2.4    Syarat-Syarat Koordinasi
Menurut Hasibuan (2007:88) terdapat 4 (empat) syarat koordinasi, yaitu:
  1. Sense of cooperation (perasaan untuk bekerjasama), ini harus dilihat dari sudut bagian per bagian bidang pekerjaan, bukan orang per orang;
  2. Rivalry, dalam perusahaan-perusahaan besar sering diadakan persaingan antara bagian-bagian, agar bagian-bagian ini berlomba-lomba untuk mencapai kemajuan;
  3. Team spirit, artinya satu sama lain pada setiap bagian harus saling menghargai;
  4. Esprit de corps, artinya bagian-bagian yang diikutsertakan atau dihargai, umumnya akan menambah kegiatan yang bersemangat.
Koordinasi adalah suatu istilah yang mengandung pengertian koperasi (cooperation sebab tanpa adanya koperasi tidak mungkin dapat dilakukan. Mc. Farland (Handayaningrat, 1985:90) mendefinisikan koperasi merupakan kehendak dari individu-individu untuk menolong satu sama lain. Namun antara koordinasi dan koperasi berbeda. Menurut Handayaningrat (1985:90) pada koperasi terdapat unsur kesukarelaan atau sifat suka rela (voluntary attitude) dari orang-orang di dalam organisasi. Sedangkan koordinasi tidak terdapat unsur kerjasama secara suka rela, tetapi bersifat kewajiban (compulsory).
2.2.5    Ciri-Ciri Koordinasi
Menurut Handayaningrat (1985:89-90) koordinasi mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
  1. Bahwa tanggungjawab koordinasi adalah terletak pada pimpinan. Oleh karena itu, koordinasi adalah merupakan tugas pimpinan. Koordinasi sering dicampur-adukkan dengan kata koperasi yang sebenarnya mempunyai arti yang berbeda. Sekalipun demikian pimpinan tidak mungkin mengadakan koordinasi apabila mereka tidak melakukan kerjasama. Oleh kaerna itu, maka kerjasama merupakan suatu syarat yang sangat penting dalam membantu pelaksanaan koordinasi;
  2. Adanya proses (continues process). Karena koordinasi adalah pekerjaan pimpinan yang bersifat berkesinambungan dan harus dikembangkan sehingga tujuan dapat tercapai dengan baik;
  3. Pengaturan secara teratur usaha kelompok. Oleh karena koordinasi adalah konsep yang ditetapkan di dalam kelompok, bukan terhadap usaha individu, maka sejumlah individu yang bekerjasama, di mana dengan koordinasi menghasilkan suatu usaha kelompok yang sangat penting untuk mencapai efisiensi dalam melaksanakan kegiatan organisasi. Adanya tumpang tindih, kekaburan dalam tugas-tugas pekerjaan merupakan pertanda kurang sempurnanya koordinasi;
  4. Konsep kesatuan tindakan. Hal ini adalah merupakan inti dari koordinasi. Kesatuan usaha, berarti bahwa harus mengatur sedemikian rupa usaha-usaha tiap kegiatan individu sehingga terdapat adanya keserasian di dalam mencapai hasil;
  5. Tujuan koordinasi adalah tujuan bersama, kesatuan dari usaha meminta suatu pengertian kepada semua individu, agar ikut serta melaksanakan tujuan sebagai kelompok di mana mereka bekerja.
2.2.6    Pendekatan-Pendekatan Untuk Mencapai Koordinasi Yang Efektif
Pendekatan ini dapat di tempuh dengan dua jalan yaitu:
1.  Pendekatan Potensi Koordinasi, berupa Pendekatan koordinasi ini meliputi sistem:
a.       Sistem Informasi Vertical. Adalah suatu sistem di mana informasi dapat di  kirimkan ke atas dan kebawah jenjang organisasi.
b.      Sistem Informasi Lateral. Sistem ini mengabaikan rantai komando. Hubungan lateral (hubungan ke samping atau sejajar) ini memungkinkan adanya pertukaran informasi yang di butuhkan dapat di pertanggung jawabkan. Misalnya dalam kasus tanah perlu adanya informasi lateral atau badan pertanahan nasional, departemen dalam negeri, departemen kehutanan, dan departemen kehutanan.
c.       Sistem Informasi Manajer Penghubung. Manajer penghubung mempunyai wewenang formal atas semua unit yang terlibat dalam sebuah proyek. Manajer penghubung perlu di laksanakan apabila di perkirakan koordinasi secara efektif tidak berhasil di laksanakan.
3.      Pendekatan Struktur. Pendekatan ini di lakukan apabila perusahaan merasakan     adanya iklim yang tidak sehat pada unit-unit karena adanya penunpukan kegiatan pada satu unit. Pendekatan ini di kenal sebagai organisasi matrik.
2.3        BENTUK/MODEL SINERGITAS
Untuk menciptan rasa peduli masyarakat terhadap kejadian kebakaran perlu dihidupka kembali peranan Satuan Sukarelawan ( Satlakar )  mulai dari tingkat RT/RW, Kelurahan sampai dengan Kecamatan, dengan menerapkan Sistem Keamanan Kebakaran Lingkungan (SKKL). Dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 20 Tahun 2009 tentang Pedoman Teknis Manajemen Proteksi  Kebakaran di Perkotaan, dapat dijelaskan bahwa peran serta masyarakat diberikan wadah sebagai Satuan Relawan Kebakaran (Satlakar). Satlakar merupakan wadah partisipasi masyarakat dalam rangka mengatasi ancaman bahaya kebakaran dan bagian dari pelayanan pemadaman kebakaran pada lingkungan padat hunian, rumah susun dan pasar. Fungsi utama Satlakar adalah memberikan informasi kejadian kebakaran kepada IPK dan melakukan pemadaman dini sebelum IPK datang ke tempat terjadinya kebakaran. Satlakar juga dibentuk dari masyarakat profesi dan forum komunikasi. Masyarakat profesi terdiri dari orang perorangan dan atau badan yang mempunyai profesi terkait dengan disiplin pencegahan dan penanggulangan kebakaran. Sedangkan Forum Komunikasi merupakan gabungan dari asosiasi profesi dan tokoh masyarakat. Masing-masing mempunyai peranan yang sangat penting dalam hal upaya untuk membantu Dinas Kebakaran.
Tindakan konkrit yang diharapkan IPK kepada para Balakar/Satlakar, Dunia Usaha/Masyarakat Profesi dan Forum komunikasi pada saat terjadi kebakaran  adalah :
1.      Melaporkan kejadian kebakaran dengan cepat tanpa menunggu api besar dan tak terkendali. Pelayanan kebakaran tidak dipungut biaya;
2.      Bantuan mamadamkan api pada tahap awal, karena bila upaya ini gagal api dapat membesar;
3.      Bantuan kelancaran jalan dengan cara : menepi dan memberi kelancaran akselerasi mobil PMK, membuka portal/penghalang jalan bagi unit mobil PMK dan membantu  meletakkan barang-barang yang akan evakuasi;
4.      Bantuan informasi mengenai obyek yang terbakar, asal api, adanya orang yang terperangkap api  dan macam-macam benda yang terbakar;
Sejalan dengan peran serta masyarakat yang menjadi harapan IPK, maka peranan sinergitas  antar Instansi terkait juga harus menjadi perhatian serius karena dari sinilah fungsi administrasi pemerintah kota berjalan dengan baik atau tidak. Keterlibatan instansi terkait satu-satunya dilakukan lewat koordinasi pelaksanaan tugas yang diwujudkan dalam Prosedur Tetap (PROTAP). Esensi dari protap adalah Standar Operasional Prosedur (SOP). Tujuan keterlibatan antar instansi adalah untuk menjamin efektivitas penanganan yang sinergis dan mendukung akuntabilitas pelayanan kebakaran.
Sebagai tindak lanjut untuk membina hubungan  dalam jangka panjang dan berkesinambungan, Dinas IPK harus melakukan kegiatan untuk menunjang sinergitas minat masyarakat dalam berpartisipasi melalui :
1.      Pendidikan dan Latihan Balakar atau Satlakar;
2.      Koordinasi dengan pihak Kelurahan dan Kecamatan untuk menggerakkan masyarakatnya agar dapat menjalankan fungsi wadah Balakar/Satlakar;
Agar tercipta dengan baik hubungan antar instansi terkait ( antar Satuan Kerja Perangkat Daerah/SKPD) maka IPK sebagai pembina teknis pemadaman kebakaran koordinasi dengan Para Camat dan Lurah untuk menghidupkan fungsi Satlakar melalui kegiatan :
1.      Terselenggarakannya program pendidikan dan latihan anggota Balakar/Satlakar;
2.      Memberi pengarahan, pertimbangan dan jadual dalam hal pelaksanaan tugas Balakar/Satlakar;
3.      Mengawasi kegiatan Balakar/Satlakar di wilayah kelurahan masing-masing;
4.      Menyusun program kerja tahunan dan lima tahunan;
5.      Memberikan rekomendasi atas pembentukkan unit-unit Balakar/Satlakar.
Terhadap Masyarakat Profesi/Dunia Usaha  dan Forum Komunikasi Institusi Pemadam Kebakaran  wajib mendorong, memberikan fasilitas keberadaan peran serta masyarakat profesi dalam mengontrol dan mengendalikan hal teknis yang berkaitan dengan pencegahan dan penanggulangan kebakaran terutama mengenai persamaan persepsi dalam mengatur strategi, taktis dan tugas tugas penanganan darurat bencana kebakaran.
III.             URGENSI SINERGITAS BAGI PENANGANAN DARURAT BENCANA KEBAKARAN
Memang diakui kesadaran masyarakat dalam hal proteksi kebakaran bisa dikatakan tergolong masih rendah, Penanganan kebakaran selama ini terkesan hanya dilakukan oleh IPK, sehingga  sering tidak  efektif.  Substansi  penanganan darurat bencana kebakaran sebenarnya mencakup aspek proteksi kebakaran, sedangkan yang  meliputi tindakan dapat dilihat pada saat sebelum, pada saat terjadi/pemadaman maupun setelah terjadi kebakaran. Penanganan kebakaran di level kota ditangani oleh IPK. Lingkup kewenangannya adalah proteksi kebakaran dan pemberdayaan masyarakat /dunia usaha dalam penanganan darurat bencana kebakaran.
Pada umumnya efektivitas pemadaman ditopang oleh 2 (dua) komponen utama yakni response time dan bobot serangan (weight of attack). Namun perkembangan terakhir (kajian di Australia, Inggris dan Jepang) menunjukan bahwa efektivitas pemadaman tidak semata-mata tergantung pada response time dan kualitas serangan langsung, tetapi diperluas kepada kondisi apakah upaya pencegahan kebakaran telah dilakukan, melakukan analisis resiko bahaya kebakaran dan perhitungan dalam pengerahan SDM, kendaraan dan peralatan (logistik) yang setimpal dengan resiko tersebut. Hasil evaluasi terhadap informasi dan data lapangan diperoleh  bahwa sebaiknya materi Protap / SOP Sinergitas/koordinasi disusun serta disesuaikan dengan pentahapan penanganan kebakaran seperti tahap pra kebakaran, saat kejadian dan pasca kebakaran yang dengan substansinya tersusun sebagai berikut  :
Pra / sebelum kejadian kebakaran :
1.      SOP Sinergitas/Koordinasi pencegahan bahaya kebakaran;
2.      SOP Sinergitas/Koordinasi dalam pembinaan partisipasi masyarakat;
3.      SOP Sinergitas/Koordinasi dalam kontrol produk berpotensi bahaya kebakaran;
4.      SOP Sinergitas/Koordinasi pembangunan infrastruktur pendukung operasi pemadaman;
5.      SOP Sinergitas/Koordinasi dalam pendeteksian kebakaran .
Pada saat kejadian kebakaran
1.      SOP Sinergitas/Koordinasi dalam komunikasi kejadian kebakaran;
2.      SOP Sinergitas/Koordinasi tindakan operasional pemadaman kebakaran;
3.      SOP Sinergitas/Tindakan penyelamatan (rescue) akibat kebakaran / bencana umum lainnya;
4.      SOP Sinergitas/Koordinasi pelaporan kejadian kebakaran.
Pasca kejadian kebakaran
1.      SOP Sinergitas/Koordinasi dalam pemeriksaan pasca kebakaran;
2.      SOP Sinergitas Koordinasi dalam mobilisasi pertolongan korban kebakaran;
3.      SOP Sinergitas/Koordinasi dalam penyelidikan sebab-sebab kejadian kebakaran;
4.      SOP Sinergitas/Koordinasi penyusunan data & statistik kebakaran;

IV.             KONSEP MANAJEMEN PROTEKSI KEBAKARAN
Dalam ketentuan Permen Pu No. 20/PRT/M/2009 Tentang Pedoman Teknis Manajemen Proteksi Kebakaran (MPK) di Perkotaan dijelaskan bahwa MPK merupakan segala upaya yang menyangkut sistem organisasi, personil, sarana dan prasarana serta tata laksana untuk mencegah, mengeliminasi serta meminimalisasi dampak kebakaran di bangunan gedung, lingkungan dan perkotaan. Pengaturan ini dimaksudkan untuk mewujudkan kesiapan, kesigapan dan keberdayaan masyarakat, pengelola gedung serta dinas terkait dalam mencegah dan menanggulangi kebakaran. Dari penjelasan tersebut, maka kegiatan MPK ini  meliputi :
1.      Pencegahan kebakaran dengan melakukan kegiatan pemeriksaan desain bangunan dan lingkungan khususnya peralatan proteksi kebakaran (antara lain :  alat pemadam kebakaran,alarm kebakaran,hydrant gedung, springkler), sumber air,jalur evakuasi dan akses untuk pemadaman kebakaran. Pemeriksaan berkala untuk menjamin kesiagaan manajemen penanggulangan kebakaran bangunan dan lingkungan, serta melakukan pengawasan dan pengendalian bahan yang mudah terbakar;
2.      Pemadaman Kebakaran dengan menerapkan prefire plan yang telah disusun dan disimulasikan terhadap kejadian sebenarnya sesuai dengan strategi dan taktik yang harus digunakan. Menjalankan fungsi koordinasi yang diperlukan seperti : (Memudahkan jalur pencapaian lokasi kebakaran dengan bantuan Polisi dan Dinas Perhubungan, mengamankan lokasi dengan bantuan Polisi dan Linmas, memperbesar debet suplai air dengan bantuan PDAM, Mematikan listrik dengan bantuan PLN, Menyiapkan ambulan dengan bantuan RSUD dan PMI, Mengatur/mengamankan jalur komunikasi radio) ;
3.      Perlindungan jiwa, harta benda dari kebakaran dan bencana lain dalam bentuk Pelayanan evakuasi dan pertolongan pertama dari tempat kejadian serta bekerja sama sama dengan instansi terkait untuk melakukan pertolongan;
4.      Pembinaan masyarakat melalui kegiatan penyuluhan dan pelatihan kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan partisipasi dan kepedulian masyarakat dalam mengatasi ancaman bahaya kebakaran.




DAFTAR PUSTAKA


Buku-buku
Ismail Solihin, 2012,  Manajemen Strategik, Erlangga, Jakarta
Ketchen Jr. D. et all. 2009. "Strategy 2008-2009". McGraw-Hill, New York
LPM-ITS, 2003, Laporan Akhir Penyusunan Rencana Manajemen Penanggulangan Kebakaran, Surabaya
Nurjanah dkk, 2012, Manajemen Bencana, Alfaneta, Bandung
Sugandha Dann, 1986,  Manajemen Administrasi, Sinar Baru, Bandung
_______ , 1988, Koordinasi Alat Pemersatu Gerak Administrasi, Intermedia, Jakarta
Suprapto, 2009, Makalah Kajian Mengenai Koordinasi Instansional Dalam Penanganan Kebakaran, Pusat Litbang Permukiman Dep. PU, Bandung

Dokumen-dokumen
Undang-undang Nomor 24 tahun 2007,  tentang Kebencanaan
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2002 , tentang Bangunan Gedung
Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2005, tentang pelaksanaan Undang-Undang Bangunan Gedung
Peraturan Menteri Negara Pekerjaan Umum No.20 /KPTS/2009, tentang Ketentuan Teknis Manajemen Penanggulangan Kebakaran di Perkotaan

Peraturan Menteri Negara Pekerjaan Umum No 26 Tahun 2008, tentang Persyaratan Teknis Sistem Proteksi  Kebakaran pada Bangunan dan Lingkungan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan sopan.. dan jangan membuat spam.. Boleh promosi tapi jangan berkali-kali.. jika melanggar ketentuan tersebut maka komentar anda akan saya hapus selamanya.....

 

SEARCH

Most Reading